PARTISIPASI politik adalah aktivitas warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.
Sebuah negara yang mengaku menganut asas demokrasi akan menempatkan warga negara atau masyarakat sebagai komponen penting dalam sistem politiknya. Ini dikarenakan sistem politik itu sendiri muncul sebagai salah satu upaya manusia untuk mengelola sumber-sumber kekuasaan dan atau mengatur kehidupan bernegara. Kondisi yang sama juga terlihat di Indonesia, walau catatan historis menunjukan gambaran yang berbeda dari masa ke masa tentang bagaimana warga negara dianggap sebagai bagian dari elemen negara.
Urgensi kehadiran masyarakat dalam kehidupan negara dapat dilihat dan diamati melalui keterlibatan masyarakat itu sendiri dalam sistem politik. Semakin tinggi keterlibatan masyarakat dalam dunia politik di negara itu, maka semakin besar kemungkinan aspirasi dan kebutuhan masyarakat bisa dipenuhi oleh negara melalui pemerintah sebagai pengelola penyelanggaraan kehidupan bernegara. Sejak merdeka hingga saat ini, keikutsertaan masyarakat Indonesia dalam dunia politik menunjukkan kondisi yang sangat dinamis.
Sebagian ahli mengatakan bahwa fluktuasi keterlibatan masyarakat Indonesia dalam dunia politik dipengaruhi oleh tafsir pengelola negara dalam hal ini rejim yang berkuasa terhadap makna demokrasi itu sendiri. Akibat kondisi yang demikian, kualitas dan kuantitas keterlibatan masyarakat dalam dunia politik pada masa rezim-rezim terdahulu selalu beragam. Keragaman tersebut tentu berkorelasi dengan penilaian rezim yang berkuasa tentang bagaimana masyarakat seharusnya dilibatkan dalam dunia politik.
Banyak kalangan mengatakan bahwa partisipasi politik dinilai sebagai inti demokrasi. Sementara itu, dalam kehidupan bernegara, partisipasi politik warga negara adalah jantungnya demokrasi. Dengan mendasarkan pada penyataan di atas, maka dapat dipahami bahwa demokrasi dalam sebuah negara tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa keikutsertaan warga negara di dalamnya. Partisipasi sendiri merupakan proses tumbuhnya kesadaran terhadap hubungan antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat, yaitu antara kelompok-kelompok sosial dan komunitas dengan pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga lainnya.
Oleh ahli lain mengungkapkan bahwa partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi dari setiap orang dalam suatu kelompok untuk mendorong mereka berkontribusi terhadap tujuan kelompok dan adanya pembagian tanggung jawab terhadap kelompok.
Memasuki era reformasi yang ditandai dengan lengsernya presiden Suharto di tahun 1998, telah membawa babak atau era baru di Indonesia dalam menafsirkan demokrasi. Ini paling tidak ditandai dengan adanya “kesepakatan” oleh mayoritas elemen bangsa tentang arah dan bentuk demokrasi yang akan dilangsungkan di Indonesia.
Berbarengan dengan perubahan otorisasi penafsiran tentang makna demokrasi, keterlibatan masayarakat dalam dunia politik juga semakin diyakini sebagai indikator penting dari sebuah negara demokrasi. Oleh karena itu, negara berkewajiban menstimulus warga negaranya untuk selalu terlibat secara aktif dalam proses politik.
Keterlibatan masyarakat dalam proses politik ternyata juga berkorelasi dengan kesuksesan pembangunan secara menyeluruh. Ini dikarenakan, kebijakan pembangunan nasional Indonesia juga ditentukan melalui proses politik itu sendiri.
Mencermati bahwa pembangunan nasional tidak terlepas dengan dunia politik, maka pembangunan politik masyarakat juga menjadi penting untuk dilakukan. Pembangunan politik melingkupi banyak hal namun nuansanya adalah mendukung melahirkan sebuah kondisi yang mampu meningkatkan pendidikan masyarakat secara berkelanjutan.
Salah satu dari sekian banyak bentuk partisipasi politik masyarakat yang jelas dan mudah diamati adalah ketika masyarakat memberikan suaranya pada pemilihan umum. Kebanyakan orang menganggap bahwa besarnya persentase jumlah masyarakat yang memberikan hak pilihnya pada pemilihan umum mengindikasikan tingginya partisipasi politik.
Dalam kajian politik, tingginya angka penggunaan suara dalam pemilu tidak secara otomatis menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat juga tinggi. Hal ini dikarenakan secara faktual, rekayasa atau propaganda dengan teknik dan metode tertentu mampu memobilisasi massa untuk menggunakan suaranya dalam pemilihan umum. Pada kondisi seperti itu, masyarakat yang dimobilisasi biasanya memiliki pengetahun dan kesadaran yang rendah terhadap pilihan-pilihan politik yang ada.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
1. Al Washliyah dan Politik Secara Umum
Walaupun ide awal pendirian Al Washliyah lebih banyak menyoroti persoalan keagamaan umat, namun dalam perjalanannya, banyak tokoh organisasi ini yang terlibat dalam dunia politik. Ini merupakan konsekwensi logis, sebab ada pemahaman bahwa dunia politik adalah wilayah yang juga bisa menjadi sarana untuk memperjuangkan kepentingan ummat Islam. Seperti yang diungkap oleh Arsyad Thalib Lubis bahwa “…dalam memperjuangkan cita-cita Islam kita melihat dua lapangan yang amat penting.
Pertama, lapangan politik. Lapangan ini telah diisi oleh ummat Islam dengan membangunkan berbagai partai politik yang berazaskan Islam. Kedua lapangan pembangunan dan pembinaan. Lapangan ini telah diisi ummat Islam dengan membangun dan membina Islam dalam jiwa dan amal ummat. Kita harus menginsafi bahwa di samping soal-soal politik yang hangat dan bersimpang siur yang dihadapi sehari-hari, soal pembangunan dan pembinaan Islam dalam jiwa ummat tidak kurang pentingnya untuk mendapat perhatian yang istimewa.
Pada suatu saat perjuangan dalam lapangan politik Islam akan kandas dan patah di tengah jalan jika perjuangan dalam lapangan yang kedua diabaikan Inilah yang mungkin menjadi penyebab sebagian pengurus Al Jam’iyatul Washliyah memutuskan untuk ikut serta dalam dunia politik.
Al Jam’iyatul Wasliyah yang merupakan salah satu organisasi islam di Indonesia telah memantapkan posisinya di antara organisasi-organisasi Islam lainnya. Pada kondisi yang demikian, maka menjadi hal yang sangat wajar bila dalam proses perjalanan waktu yang dilaluinya, Al Washliyah juga telah ikut melahirkan tokoh-tokoh yang mampu bersaing di dunia politik. Disadari atau tidak bahwa Al-Wasliyah yang tidak mau ikut dalam dunia politik juga telah terkena imbas dari tokoh dan kader mereka yang terjun ke dunia politik.
Dalam AD/ART Al Washliyah tidak ada pernah tertuang untuk mengatakan, atau tidak satu bab atau pasalpun yang mengatakan bahwa kader Al Washliyah tidak boleh berpolitik praktis, jadi sah-sah saja. Memang dalam AD/ART jelas dikatakan bahwa Al Washliyah tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu. Al Washliyah adalah independen, namun hak politik kader Al Washliyah juga harus diberikan tempat.
Artinya Al Washliyah tidak pernah memasung kader-kadernya baik itu elit maupun kader yang dia tidak masuk ke dalam struktur kepengurusan pada masing-masing tingkatan organisasi yang ada di Al Washliyah dan organisasi bagian Al Washliyah. Karena bagaimanapun, politik merupakan salah satu bagian dari alat perjuangan untuk berbuat dan mengabdi kepada masyarakat dalam arti ikut berpartisipasi dalam membangun bangsa.
Namun pada beberapa momentum politik, Al Washliyah pernah menceburkan diri menjadi bagian dari partai Masyumi, dan secara kelembagaan juga pernah didorong dengan langkah konstitusional (Rapat Kerja Nasional) untuk mendukung salah satu partai politik yang ada.
2. Motifasi Kader Al Washliyah Berpolitik
Kajian tentang motif pengurus organisaai massa terutama organisasi sosial keagamaan telibat dalam dunia politik sangatlah banyak. Namun yang dapat dipastikan bahwa ketertarikan kader Al Washliyah untuk terjun kedunia politik praktis didasarkan oleh banyak faktor.
Dalam bukunya Elit Muhammadiyah dan Kekuasaan Politik, Jurdi (2004) mengisahkan bahwa keterlibatan tokoh-tokoh Muhammadiyah pada dunia politik sangat terkait dengan aspek sejarah, dimana para pendiri Muhammadiyah pada mulanya juga merupakan tokoh-tokoh yang juga ikut terlibat dalam pergerakan Kemerdekaan Republik Indoensia. Kondisi yang sama juga terjadi di Nahdhatul Ulama.
Lebih lanjut Jurdi bercerita bahwa dalam perkembangannya, elit-elit Muhammadiyah kemudian tetap memiliki kecendrungan untuk terlibat dalam dunia politik.
Motif utama para elit terjun ke dunia politik tentu hanya akan diketahui oleh elit tersebut. Ini tentunya tentu dikarenakan setiap elit akan memiliki motivasi dan alasan tersendiri yang mendorong mereka untuk terjun ke dunia politik. Untuk mengetahui motif pengurus Al Washliyah terjun ke dunia politik dapat dilakukan dengan mengklasifikasi elit ke dalam kelompok artikulati;:
1. Pengurus yang secara murni mengambil sikap dan pendirian politik sesuai dengan khittah Al Washliyah dengan tidak memasuki wilayah real politics secara langsung,
2. Pengurus yang secara terus terang memilih partai politik tertentu sesuai kehendaknya masing-masing.
3. Pengurus yang masih konsisten mendukung kekuatan politik Islam (d/h Partai Masyumi) yang saat ini terintegrasi menjadi PPP. Kelompok ini berargumen bahwa hanya partai Islam-lah yang akan bisa bersama-sama dengan Al Washliyah mengawal
prinsip perjuangan Islam.
Bila memperhatikan klasifikasi di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa setiap kelompok tentunya akan memiliki motif yang berbeda ketika mereka terlibat dalam dunia politik.
Secara sederhana, motif umum yang bisa dilihat dari keterlibatan elit oarganisasi massa keagamaan terlibat dalam dunia politik adalah karena alasan:
1. Memperluas wadah atau jaringan untuk memperjuangkan kepentingan ummat.
2. Adaptasi atau strategi adaptif untuk menghindari benturan kepentingan dengan
penguasa.
3. Ekonomi, bahwa dengan terlibat dalam dunia politik maka sumber daya ekonomi individu dan kelembagaan akan terbantu, dan alasan-alasan lainnya.
Berdasarkan motif-motif yang diungkapkan di atas, maka secara tidak langsung keterlibatan elit Al Washliyah dalam dunia politik juga membawa pengaruh bagi kelangsungan dan perkembangan organisasi. Pada masa orde baru, ada anggapan bahwa
ormas keagamaan yang mampu bermesraan dengan pemerintah sedikit banyak akan memperoleh berbagai kemudahan dan fasilitas.
Kompensasi atas kemudahan dan fasilitas yang dirasakan akan menurunkan daya kritis organisasi secara kelembagaan pada kebijakan pemeritah. Pada kondisi demikian, Al Washliyah cenderung hanya akan menjadi pendukung setia (loyalis) pemerintah yang tidak bisa melakukan kritik konstruktif selain hanya menerima apa yang diputuskan oleh pemerintah.
3. Bentuk Partisipasi Politik Al Washliyah
Bentuk partisipasi politik Huntington, kecuali sikap destruktif dan kekerasan tentu dapat dijadikan parameter dalam menentukan apakah Al Washliyah berpolitik.
a. Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu.
Dalam parameter ini, sulit untuk menghadirkan data yang akurat tentang besaran persentase partisipasi politik pemilih.
b. Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu; dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa Al Washliyah melakukan pembicaraan secara mendalam dengan pihak terkait.
c. Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
Kader Al Washliyah yang telah melewati proses kaderisasi berjenjang sesuai aturan organisasi, pada gilirannya akan terdistribusi ke organisasi lainnya. Dengan kompetensi dan kapabilitas serta loyalitas yang telah ditanamkan sebelumnya menempatkan kader-kader Al Washliyah mengisi jabatan penting pada berbagai organisasi baik partai politik, organisasi kemasyarakatan, birokrasi, akademisi dan sebagainya, dan mampu pula mengambil bagian sebagai alat konsultatif dan pressure dalam penetuan kebijakan.
d. Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka.
Penutup
Berdasarkan teori partisipasi politik, apa yang dilakukan oleh Al Washliyah dalam kaitan implementasi kebijakannya, aktifitas politik seperti yang berlaku diorganisasi sosial politik juga berjalan di Al Washliyah, seperti memberikan saran dan pendapat kepada pihak eksekutif terkait regulasi yang akan diberlakukan. Peran dan posisi Al Washliyah terlihat sangat jelas, poin-poin rekomendasi sebagai produk musyawarah dan rapat diputuskan sebagai usaha menyampaikan pendapat, saran, gagasan dan tekanan kepada penyelenggara kekuasaan. Pada konteks ini secara teoritis Al Washliyah juga berpolitik.
Terkait independensi organisasi, meskipun secara tegas diatur didalam AD/ART Al Washliyah, bahwa Al Washliyah bukanlah partai politik, tidak mendirikan partai politik serta tidak berafiliasi kepada salah satu partai politik, namun dalam prakteknya ditemukan kebijakan organisasi yang membawa masuk organisasi kedalam ranah politik praktis.
Seperti sejarah juga mencatat bahwa Al Washliyah pernah menjadi bagian dari Partai Politik Islam Masyumi. Disamping itu proses mendukung pasangan calon pemimpin (Presiden/wakil Presiden, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Walikota/Wakil) dan jabatan politik lainnya sering dilakukan oleh Al Washliyah.
Dedi Iskandar Batubara
* Penulis adalah Wakil Sekretaris PW Al Washliyah Sumut
* Sekretaris DPD KNPI Sumut
* Anggota Dewan Pendidikan Sumut
* Penasehat PP IPA
* Mahasiswa Program Doktor Studi Pembangunan FISIP USU
* Calon Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Sumut Pemilu 2014.
Sahabat Dedi Batubara
http://www.facebook.com/pages/Sahabat-Dedi-Batubara/462700353802998?ref=ts&fref=ts