MANUSIA adalah hamba Allah yang tidak terlepas dari dosa atau pun kesalahan, baik itu dosa kecil maupun dosa besar, baik itu terang-terangan atau pun tersembunyi, baik itu dosa kepada Allah atau pun dosa kepada manusia. Karena manusia itu diberikan Allah SWT nafsu dan akal sehingga manusia memiliki beberapa pilihan yang harus ia ambil.
Hanya saja di dalam memilih ini manusia terkadang salah di dalam mengambil keputusan, sehingga jatuhlah ia kedalam perbuatan dosa. Seseorang dikatakan telah berdosa jika ia sudah baligh dan berakal dan melaksanakan apa yang dilarang Allah atau meninggalkan apa yang telah diperintahkan Allah.
Remaja adalah sasaran tepat untuk dijerumuskan kedalam lumuran dosa, karena biasanya remaja sangat sulit untuk menerima nasehat dan malah membantah, jika diingatkan atau dinasehati. Oleh karena itulah sering kita dapati dalam beberapa kasus belakangan ini bahwa remaja sering melakukan keonaran baik itu perjudian, perzinaan, perkelahian, mabuk-mabukan
dan sebagainya. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah kebanyakan remaja yang melakukan dosa itu malah mereka yang berasal dari Madrasah-madrasah Islam yang seharusnya mereka ini telah dididik betul oleh guru-guru mereka agar menjadi insan yang teladan bagi orang-orang di sekelilingnya.
Ini membuktikan bahwasanya iblis itu tidak memilih siapa yang akan menjadi tumbalnya dari kalangan manusia dan bahkan ia telah berjanji kepada Allah akan menggoda manusia sampai hari kiamat nanti, dan ini juga yang membuktikan akan kebenaran hadits “Setiap bani adam itu pasti sering melakukan kesalahan” namun hadits itu bukan hanya sampai disitu saja
sebagaimana yang sering yang kita dengar di kalangan masyarakat, jikalau ada seorang ustad melakukan dosa maka akan senantiasa dibela dengan kalimat “Ustad juga manusia yang tak luput dari kesalahan” dan berhenti sampai di situ saja tanpa ada solusi bagi orang yang melakukan kesalahan atau dosa tersebut, padahal hadits di atas selain menjelaskan bahwa manusia tak luput dari kesalahan juga memberikan solusi bagi si pendosa agar terlepas dari dosanya yaitu sambungan hadits tersebut “Sebaik-baik orang yang sering melakukan kesalahan adalah orang-orang yang senantiasa mau bertaubat.”
Azzanjani di dalam kitabnya Atta’rifat mendefenisikan bahwa taubat adalah kembali kepada Allah dengan memperbaiki kesalahan dari hati kemudian melaksanakan semua hak-hak/ kewajiban-kewajiban dari Allah. Sedangkan Inbu ‘Arobi di dalam kitabnya Ahkamul Qur’an mendefenisikan taubat itu adalah kembalinya seorang hamba dari dalam keadaan maksiat menuju keadaan taat kepada Allah. Dari kedua defenisi ini dapat kita simpulkan bahwa taubat itu adalah kembali ke jalan Allah yang lurus sebagaimana yang Allah ridhoi. Namun, untuk mengaplikasikan sebuah taubat di kalangan remaja sepertinya Ta’rif umum taubat ini belum terlalu mengena dan mengarah kepada sasaran karena kita harus benar-benar memahami taubat yang bagaimana yang dikehendaki oleh Allah S.W.T.
Kalau kita kembali ke Al-Qur’an Surat Attahrim Ayat 8 ternyata di sana Allah memerintahkan kita agar melakukan taubat nasuha dan apa itu taubat nasuha? Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas –Radiallahu ‘Anhuma- bahwasanya taubat nasuha itu adalah penyesalan yang timbul dari hati dan mohon ampun kepada Allah dengan lisan serta berniat agar tidak mengulanginya lagi selamanya, adapaun pengertian lain dari taubat nasuha itu sungguh sangat banyak kita dapati sehingga Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ulama berbeda pendapat dalam mengartikan atau mendefenisikan taubat nasuha tersebut hingga mencapai dua puluh tiga defenisi, hanya saja kesemua maknanya saling mirip dan berdekatan.
Taubat nasuha dalam versi Ibnu Abbas tadi menjelaskan kepada kita bahwa tidak cukupnya penyesalan dan mohon ampun dalam mengaplikasikan taubat nasuha, karena selain penyesalan dan mohon ampun kepada Allah juga diperlukannya niat dan tekat yang kuat untuk meninggalkan maksiat dan tidak mengulanginya lagi untuk selamanya karena tanpa adanya ini maka taubatnya itu adalah taubat orang-orang pendusta atau Kadzzabiiin sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Laits Assamarqondi di dalam kitabnya Tambihul ghofilin.
Oleh karena itu Imam Nawawi menjelaskan syarat-syarat dalam bertaubat, bahwa jika maksiat tersebut antara manusia dan Allah maka harus dipenuhi tiga syarat dibawah ini:
1. Harus meninggalkan maksiat itu
2. Harus menyesal karena telah melakukan maksiat tersebut
3. Harus bertekat bulat untuk tidak menulanginya lagi selamanya dan jika maksiat tersebut antara manusia dan manusia maka dibutuhkan empat syarat: tiga syarat diatas tadi dan ditambah satu syarat lagi yaitu harus mengembalikan barang yang ia
ambil jika ia pernah mencuri, atau harus dihukum (had) atau minta maaf kepada orangnya atau ahlinya jika berupa tuntukan hukum seperti menuduh berzina, atau harus minta ridho kepada orangnya jika ia pernah menghiba atau mengunjing.
Selain harus memenuhi syarat-syarat dalam bertaubat tadi, juga harus diperhatikan bahwa kewajiban bertaubat itu bersifat segera yaitu tidak ditunda-tunda dan juga bersifat terus-menerus, jadi bagi siapa saja yang melakukan dosa baik itu disengaja atau pun tidak, besar atau pun kecil maka wajib baginya bertaubat sesegera mungkin dan terus-menerus bertaubat, karena pada dasarnya manusia itu tak lepas dari dosa dan kesalahan dalam setiap keadaannya yang ada pada dirinya sendiri (badannya) dan kalau pun seandainya dia bisa terlepas dari dosa badannya maka belum tentu dia bisa terlepas dari dosa yang terlintas dalam hatinya, dan bahkan kalau seandainya dia masih bisa terlepas dari dosa yang terlintas dari hatinya namun belum tentu dia bisa terlepas dari godaan setan yang senantiasa memalingkannya dari mengingat Allah atau juga akan terlepas dari segala kelalaian-kelaian dalam tuntutan beribadah kepada Allah.
Umat Nabi Muhammad SAW adalah umat yang paling baik sehingga jika mereka melakukan dosa atau maksiat maka Allah senantiasa mengampuni dosa-dosa mereka, jikalau mereka mau bertaubat kepada Allah selama nyawa masih berada di tenggorokan dengan lisan, hati dan tekatnya mereka. Adapun umat-umat terdahulu, jika mereka ingin melakukan taubat kepada Allah maka tidak cukup dengan lisan, hati dan tekat karena diantara umat-umat terdahulu jika mereka ingin bertaubat maka mereka harus membunuh diri mereka sendiri, atau mereka harus menulis di pintu rumah-rumah mereka bahwa mereka telah melakukan dosa ini dan itu, atau jika mereka ingin beribadah maka mereka harus beribadah di ma’bad yang khusus untuk beribadah.
Dan Alhamdulillah syari’at Nabi Muhammad menghapus itu semua dan menjadikan taubat semudah mungkin, pada saat dan dimana pun dia berada, dan bahkan Allah S.W.T. memerintahkan agar jangan pernah berputus asa didalam mencapai rahmat Allah SWT.
Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dalam mengaplikasikan taubat, di antaranya yaitu:
1. Menahan lidah kita dari perkataan yang tidak berguna, menggunjing dan berbohong.
2. Tidak pernah terlintas di hatinya rasa dengki dan permusuhan terhadap orang lain.
3. Tidak bergaul dengan orang-orang jahat
4. Bersiap untuk mati dalam keadaan menyesal dan mohon ampun terhadap dosa-dosa yang pernah kita lakukan serta bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.
Jika ini semua telah kita lakukan yakni bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha serta syarat dan ketentuan-ketentuan di dalam bertaubat, maka mungkin salah satu di antara kita ada yang bertanya bagaimana ciri-ciri bahwa taubat seseorang itu diterima oleh Allah SWT? Di dalam kitab Tanbihul Ghofin dijelaskan bahwa ada empat ciri-ciri bahwa taubat seseorang itu
diterima Allah, yaitu:
1. Putus hubungan dengan orang-orang jahat (orang-orang yang jelek prilakunya) dan memperlihatkan kepada mereka karisma dari dalam dirinya dan juga sering bergaul dengan orang –orang sholeh.
2. Meninggalkan segala dosa dan bersiap untuk melaksanakan segala keta’atan.
3. Membuang segala kebahagiaan dunia dan menampakkan segala kesedihan akhirat didalam
dirinya.
4. Melihat dirinya terlepas dari segala sesuatu yang Allah berikan kepadanya dari rizki dengan
menyibukkan dirinya terhadap apa yang Allah perintahkan.
Kita pasti pernah melakukan kesalahan, dosa atau pun maksiat, baik itu kecil maupun besar. Terkadang kita sadar dengan apa yang kita lakukan itu adalah salah namun masih juga kita lakukan dan bahkan mungkin diantara kita ada yang sudah benar-benar bertaubat dan bertekat bulat untuk tidak melakukan segala bentuk maksiat namun dikesempatan yang yang tidak disangka kita malah mengulangi dosa itu kembali, oleh karena itulah dari dulu, Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan kepada kita bahwa kita ini adalah manusia yang sering melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang sering melakukan kesalahan adalah orang yang sering bertaubat, karena Rasulullah SAW tidak mengatakan “kullu bani adam mukhtik wa khorul Khoti’in Attaibun” yang berarti setiap bani adam/manusia pasti melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat, tetapi Rasulullah mengatakan “kullu bani adam khottok wa khoirul khottoin Attawwabun” yang berarti setiap bani adam itu pasti sering melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang sering melakukan kesalahan adalah orang yang sering bertaubat.”
Oleh karena itu jangan pernah bosan untuk bertaubat dan jangan pernah berputus asa dalam meraih RahmatNya , semoga kita tergolong hamba-hamba Allah yang senantiasa dijaga dari segala perbuatan maksiat dan diampuni dari segala dosa-dosa, Amin Ya Robbal Alamin.
Muhammad Zain Alhudawy
*Penulis adalah Alumni Al Qismul’Ali Al-Washliyah 2008/2009 dan sekarang mahasiswa tingkat 4 Fak. Syari’ah Wal Qonun, Jur. Syari’ah di Universitas Al Ahgaff, Tarim, Yaman.