Menyikapi Usulan Pemerintah Tentang Pasal Kumpul Kebo Dalam KUHP
Filosofis Menikah Dan Cinta
Peristiwa pernikahan berawal dari adanya hubungan sosial, budaya, ekonomi bahkan politik. Hubungan pasangan antara laki-laki dan wanita memiliki fitrah sebagai manusia sejak awal penciptaannya. Diciptakan manusia memiliki dari berbagai unsur diantaranya adalah adanya rasa cinta. Selain akal, nafsu, jiwa rohani dan jasad bahwa cinta yang terdapat didalam hati manusia memiliki lembaran-lembaran untaian yang tidak dapat diraba, dirasa dan dibatasi oleh tritorial apapun. Baik suku, bangsa, warna kulit, bahasa, budaya bahkan agama sekalipun.
Bila cinta yang hadir di lubuk hati manusia ia akan berkata dengan bahasanya yang begitu universal yang tidak memiliki sekat apapun. Dengan cinta lahir teori Humanisme, Ahimsa ala Ghandi, demokrasi, pancasila, sosialis, undang-undang, teknologi, suprnatural dan segala aspek kehidupan alam jagat raya. Cinta tidak memiliki sekat, ruang, waktu, masa dan tritorial. Tentunya cinta yang dibahas di dalam maqalah yang sederhana ini adalah cinta kepada pasangan hidup.
Timbulnya pasangan yang memiliki perbedaan latar belakang status terutama agama sangat menjadi sorotan yang tajam dibelahan dunia ini. Bahkan para Pilsuf humanis dan teori Ahimsa (ajaran Budha dan Hindu) yang dikembangkan oleh Ghandi belum mampu memecahkan persoalan adanya hubungan perbedaan agama dapat hidup dalam satu ikatan perkawinan. Teori Filsafat mereka hanya bisa terurai sebagai thesa dan anti thesa dan hanya bebicara sebatas teori dalam ilmu pengetahuan, tapi kenyataan dan realitanya sampai sekarang ini, yang memiliki teori atau yang mengembangkannya tidak melakukan itu secara utuh, maka pertanyaannya; “Bolehkah pernikahan beda agama….”. Terbukti bahwa masyarakat India, Eropha, Afrika dan belahan dunia lainnya belum mampu memecahkan persoalan ini dengan aturan-aturan yang bijak dan jelas. Secara politik jelas.., Mereka mengatakan humanis, demokrasi anti Rasis, kenyataannya sangat berbeda.!
Islam telah lama mengatur tentang pernikahan beda agama, baik dengan orang majusi (kafir), dan Ahlul Kitab (umat Yahudi dan Nashrani). Islam mengatur ini memberikan toleransi kepada manusia khususnya bagi orang Islam untuk memilih pasangan hidupnya agar tercipta kelanggengan yang dicita-citakan. Namun Islam memiliki aturan tentang hal itu karena memandang kemaslahatan bagi umat manusia di dunia ini. Aturan-aturan itu tidak satu agama manapun yang ada mengaturnya kecuali Islam. Lantas aturan-aturan yang telah diberikan jangan sampai ditambah atau dikurangi. Intepretasi “Nikah Kitabiyah” terhadap teks Quran boleh dilakukan oleh siapa saja, tetapi jangan sampai mengabaikan kemaslahatan sisi-sisi bencana, kehancuran dan kesemerautan yang akhirnya terjadinya sengketa kepentingan, misi yang menyebabkan setatus sosial manusia menjadi terpecah belah tidak karuan. Keringanan yang diberikan Qur’an bukan untuk menghancurkan keturunan, keluarga, setatus sosial dan peradaban. Titik berat dan penekanan yang tidak dapat ditawar adalah “Litakuna alimatullahi Hiyal ‘Ulya/ An La Ta’budu Illallah ” yaitu keluarga dibentuk harus mampu meninggikan tauhid syari’at Islam dan jangan sampai keluarga dan keturunan keluar dari Islam. Aturan-aturan inilah yang telah terjadi pada masa Rasulullah Saw diberi keringanan adanya pernikahan bagi laki-laki muslim terhadap wanita Kitabiyah (Yahudi dan Nasrani; Keristen), namun tidak sebaliknya (tidak boleh wanita muslimah menikah terhadap laki-laki kitabiyah). Dibawah ini akan diuraikan tentang pernikahan beda agama.
Makna Dan Tujuan Nikah
Nikah berasal dari kata (نََكَحَ – يَنْكَِحُ – نَكْحًا و نِكَاحًا). Adapun pengertian menurut bahasa ulama berbeda pendapat, namun hakikat maknanya sama diantaranya adalah Jawaz (زواج); marriage, matrimony, wedlock. Makna lain nikah ( النكاح ) Al Wath’u ( الوطء ) yang berarti berhubungan intim antara laki-laki dan wanita. Ad Dhammu (الضم) yang berarti kumpul atau jima’dan Al Jam’u (الجمع) yang berarti Jima’. Menurut Syara’ Imam Al Jurjani menyebutkan nikah adalah:
النكاح : فى الشرع عقد يرد على التمليك منفعة البضع قصدا , وفى القيد الأخير احتراز عن البيع ونحوه لأن المقصود فيه التمليك الرقبة وملك المنفعة داخل فيه ضمنا.
“Nikah menurut syariat adalah akad yang bermaksud untuk memiliki agar mendapatkan manfaat dengan tujuan untuk jima’ (akad nikah). Dari sisi lain bertujuan untuk memelihara dalam akad jual beli maupun yang seumpamanya semata-mata bertujuan untuk memiliki dalam memelihara dan ingin memiliki sesuatu yang bermanfaat yang termasuk didalamnya adanya jaminan.”
Pengertian lain Perkawinan ialah aqad antara calon laki isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at. Yang dimaksud dengan aqad ialah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan Kabul dari pihak calon suami atau wakilnya.
Namun tujuan nikah semata-mata tidak hanya memenuhi kebutuhan biologis semata. Lebih dari itu tujuan nikah sebagaimana Allah Swt gambarkan didalam Al Qur’an diantaranya adalah:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ {الروم : 21}
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar Rum: 21)
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلاَتُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُوْلاَتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَئَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى {الطلاق : 6}
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. At Thalaq: 6)
فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُوا {3} وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا {4} وَلاَتُؤْتُوا السُّفَهَآءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا {5} (النساء : 3-5)
“….maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. 4. Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. 5. Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS. An Nisa’ : 3-5)
Menikah Terhadap Non Muslim :
Menikahi wanita non Islam dikalangan para ulama memiliki perbedaan pendapat. Masalah pernikahan terhadap non Islam terbagi dua yaitu: Pertama non Islam yang dikatakan Al Kafirah (Wanita Al Watsaniyat) yaitu wanita majusi seperti agama Konghuchu, Baha’i, Komunis, Budha, Hindu, Jorowaster, Pelbegu, Animisme, dll. Adapun yang kedua yaitu wanita non Islam Kitabiyah yaitu wanita dari golongan Yahudi dan Nasrani. Dibawah ini akan dijabarkan tentang siapa yang dikatakan wanita Al Kafirah (Al Watsaniyat; Majusi) dan siapa yang dikatakan dengan wanita Kitabiyat.
Menikahi Wanita Musyrik (Watsaniyat; Majusi)
Sepakat para sahabat ulama salaf, khalaf, dan ulama muta-akhirin bahwa menikahi wanita majusi hukumnya haram dan diangap batil. Sebagaimana Firman Allah Swt menyebutkan:
وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلاَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ {البقرة : 221}
221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al Baqarah: 221)
Didalam surah Al Mumtahanah Allah Swt berfrirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا جَآءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَهُنَّ حِلُُّ لَّهُمْ وَلاَهُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَءَاتُوهُم مَّآأَنفَقُوا وَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَآءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلاَتُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْئَلوُا مَآأَنفَقْتُمْ وَلْيَسْئَلُوا مَآأَنفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمُُ {الممتحنة : 10}
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Mumtahanah: 10 )
Ayat diatas sangat tegas tidak diperbolehkannya menikahi wanita Kafirah (Al Watsaniyat; Majusi). Yang dimaksaud dengan Kafirah (wanita kafir) adalah mereka yang menyembah Al Watsniyat majusi yang menyembah berhala atau disebut juga orang yang tidak memiliki Kitab atau Agama samawi. seperti Wanita penyembah berhala/Majusi (الوثنية), wanita Komunis (الشيوعية ), wanita Majusi Baha’i (بهائية), wanita murtad (الملحدة), dll.
Hikmah dilarangnya menikahi wanita majusi agar pemeluk agama Islam tidak berhubungan kepada mereka atas sebab akidahnya yang tidak jelas, disamping mereka para majusi tidak memiliki kitab samawi yang dianggap sebagai ajaran yang pada adasarnya dari Tuhan. Tidak memiliki Nabi yang dikenal. Karena inilah Qur’an sangat tegas melarang untuk menikahi orang-orang majusi. Karena Allah Swt mengatakan :
أولئك يدعون إلى النار والله يدعو إلى الجنة والمغفرة بإذنه.
“Mereka itu mengajak kedalam jurang api neraka, sedangkan Allah Swt mengajak kesurga dan pengampunan dengan seizin-Nya”
Larangan di atas terlebih pada menikahi wanita yang yang murtad. Seperti wanita yang asalnya beriman murtad menjadi kafir (na’uzubillahimindzalik). Maka ini sangat lebih terlarang daripada orang-orang majusi. Orang majusi masih memiliki sesembahan kepada Tuhan meskipun cara dan keyakinanya salah, berbeda dengan orang yang murtad mereka ini sama sekali tidak memiliki keyakinan yang tetap, tidak memiliki keyakinan akan kebenaran sang pencipta, hari kiamat, terlebih mereka ini tergolong orang yang dianggap mempermainkan agama. Dengan demikian orang yang murtad lebih terlarang untuk dinikahi.
Jika menikah terhadap orang yang murtad maka nikahnya dianggap batil dan wajib dipisah sebagaimana kesepakatan para ahli Fikih. Jika terjadinya murtad ketika sudah menikah maka pernikahannya wajib dipisah.
Juga Sepakat para ahli Fikih dan Ijma’ para ulama tidak boleh menikahi wanita-wanita musyrik (wanita majusi). Adapun wanita murtad digolongkan kepada wanita musyrik atau majusi. Khusus kepada wanita yang murtad terlebih tidak boleh untuk dinikahi.
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرُُ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {البقرة : 217}
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah : 217)
Maka jelas dan tegas adanya larangan menikah kepada wanita-wanita kafir (Majusi).
Menikahi Wanita Ahlul Kitab
Imam Ibnu Jarir At Thabari menjelaskan didalam Tafsirnya :
” وَلاَ تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ ” : يعني مشركات العرب اللاتي ليس فيهن كتاب يقرأنه .
وقد استثنى الله من هؤلاء المشركات اللاتي ليس لهن دين سماوي نساء أهل الكتاب قال تعالى : ” وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ ” [المائدة :5).قال ابن جرير – رحمه الله – بعد ذكر الأقوال في مسألة نكاح المشركة (4/365) : وأولى الأقوال بتأويل هذه الآية ما قاله قتادة من أن الله تعالى ذكره عنى بقوله : ” وَلاَ تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ ” من لم يكن من أهل الكتاب من المشركات وأن الآية عام على ظاهرها خاص باطنها ، لم ينسخ منها شيء وأن نساء أهل الكتاب غير داخلات فيها . وذلك أن الله تعالى ذكره أحل بقوله : ” وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ ” للمؤمنين من نكاح محصناتهن ، مثل الذي أباح لهم من نساء المؤمنات .ا.هـ.
Allah Swt berfirman: “janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman” yang dimaksud dengan wanita musyrik disini adalah wanita-wanita yang mereka itu adalah memeluk agama yang tidak memiliki kitab samawi. Namun Allah Swt mengkecualikan terhadp mereka wanita-wanita dari golongan agama Ahlul Kitab sebagaimana Firman Allah Swt: “yaitu dari wanita-wanita yang menjaga dirinya dari golongan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani)” [QS. AL Maidah: 5] Ibnu Jarir berkata: “perintah ini disebutkan setelah adanya larangan menikah dengan wanita musyrik” (4/365). Yang terpentng dari intepretasi tentang ayat diatas sebagaimana yang telah dikatakan oleh Qatadah dari firman Allah Swt: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik kecuali sampai mereka beriman”. Ayat ini tidak memasukkan wanita Ahlul Kitab dalam katagori wanita musyrik. Ayat tersebut menunjukkan secara umum sama ada secara zahir maupun batin. Ayat ini tidak menafikan yang lain, bahwa sesungguhnya wanita Ahlul Kitab tidak termasuk dari golongan wanita yang musyrik. Karena sebab itulah Allah Swt berfirman: “wanita-wanita yang bersih (yang menjaga dirinya) dari golongan Ahlul Kitab”. Ayat ini diperuntukkan kepada laki-laki beriman jika mereka berkeinginan menikahi mereka yang tergolong Ahlul Kitab, seperti diperbolehkannya terhadap mereka (laki-laki yang beriman) untuk menikahi wanita yang beriman.
Syekh Abdullah Zuqail menjelaskan didalam Maqalahnya sebagai berikut:
قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس في قوله : ” وَلاَ تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ ” استثنى الله من ذلك نساء أهل الكتاب. وهكذا قال مجاهد وعكرمة وسعيد بن جبير ومكحول والحسن والضحاك وزيد بن أسلم والربيع بن أنس وغيرهم.
Berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas terhadap Firman Allah Swt yang mengatakan: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman”. Ayat ini merupakan pengecualian terhadap wanita-wanita Ahlul Kitab. Dan seperti ini juga pendapat yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Makhul, Hasan, Dhahak, Zaid bin Aslam, Rabi’ bin Anas, maupun para sahabat lainnya.
Pendapat Ulama Terhadap Ahlu Kitab.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi dan Imam Jalaluddin Al Mahalli mendefenisikan Ahlul Kitab didalam Tafsir Jalalain adalah Yahudi dan Nashrani atau Injil dan Taurat yaitu orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang tidak mengimani Nabi Muhammad Saw.
Diantara para sahabat yang menikahi wanita Ahlul Kitab adalah sebagai berikut:
1. Hudzaifah r.a menikahi seorang wanita Yahudi Ahlul Mada’in.
2. Thalhah bin Ubaidillah menikah dengan wanita Yahudi.
3. Jabir r.a ketika ditanya tentang menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, beliau berkomentar:”Kami memang ada menikawi wanita-wanita Kitabiyah (Yahudi & Nasrani) pada masa penaklukan di Kufah bersama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash.”
4. Utsman bin ‘Affan r.a menikahi Na’ilah binti Al Farafashah Al Kalabiyah (Nasrani).
Ulama A. Hassan ditanya tentang: “ Bolehkah seorang Nasrani berkawin dengan seorang Islam ?” Beliau menjawab dengan Firman Allah : Artinya : Makanan orang-orang kafir Kitabi itu, halal bagi kamu; dan makanan kamu, halal bagi mereka itu, dan (halal bagi kamu) perempuan-perempuan Mukmin yang bersih dan perempuan-perempuan yang bersih dari golongan kafir-kafir Kitabi yang dahulu daripada kamu. [Al-Maidah: 5] Menurut firman Allah yang tersebut itu, teranglah kepada kita, bahwa perempuan agama Yahudi atau Keristen itu, boleh kita kawini, walaupun tidak ia masuk Islam. Ada seorang sahabat Nabi, bernama Hudzaifah bin Al Yaman berkawin kepada perempuan Yahudi. Hal itu tidak ditegor oleh siapapun daripada sahabat-sahabat Nabi. Kejadian itu menguatkan arti ayat tadi.Adapun hal perkawinan laki-laki agama lain dengan perempuan Islam itu, tidak ada kebenaran didalam Quran dan tidak ada pula Sunnah dan tak pernah dikerjakan oleh seorang sahabat Nabi Saw.
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus di dalam karyanya juga menegaskan di dalam Pasa 28 disebutkan sebagai berikut :
1. Dihalalkan laki-laki Muslim mengawni perempuan Yahudi dan Nasrani.
2. Dilarang laki-laki Muslim mengawini perempuan Majusi, perempuan watsani (menyembah berhala) dan perempuan Shabah (menyembah bintang-bintang).
Syekh Muhammad Idris Abdurrauf Al Marbawi menjelaskan tentang Ahlul Kitab yaitu Segala umat yang ada kitab yang diturunkan Allah dari langit. Al Kitab yaitu Al Quran, Taurat, dan Inzil.
Madzhab Syi’ah mutlak mengingkari halalnya menikahi wanita Ahlul Kitab. Mereka berpendapat wanita Ahlul Kitab sama dengan wanita musyrikah (wanita majusi). Maka haram meniakahi wanita Ahlul Kitab.
Syekh Mutawally Sya’rawi berpendapat tentang wanita Ahlul Kitab, beliau mengatakan: “Wanita Yahudi atau Nashrani yang dinikahi oleh orang-orang Islam harus diperlakukan secara adil, sebaik-baik wanita Ahlul Kitab adalah wanita Ahlul Kitab Mesir”
Imam Syafi’I membolehkan menikahi wanita Ahlul Kitab. Namun menurut beliau yang dikatakan Ahlul Kitab adalah wanita Ahlul Kitab tersebut asli dari keturunan Yahudi Atau Nasrani. Jika salah satu keturunan mereka telah bercampur dengan keturunan Majusi maka keturunan mereka tidak dapat dikatagorikan dari golongan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang halal untuk dinikahi. Pendapat Imam Syafi’I ini berbeda dengan jumhur ulama-ulama As-Syafi’iyah (pengikut Madzhab Syafi’i) yang tidak membedakan bercampurnya keturunan mereka.
Jumhur ulama Timur Tengah (Mesir, Syiria, Lebanon, Palestina, Sudan, Magribi [Maroko], Iraq, Kuwait, Qathar, Oman, Yaman) membolehkan menikahi wanita Ahlul Kitab (wanita Yahudi dan Nasrani). Pendapat mereka ini sudah menjadi aturan perundang-undangan di negara mereka yang berlaku sampai sekarang. Bahkan didapati ribuan orang-orang Mesir yang bekerja di Israel menikahi wanita-wanita Yahudi yang ada di Israel
Tentang bolehnya menikah kepada wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) ada dijelaskan oleh Abu Bakar bin Muhammad Syatha. [I’anah At Thalibin] Syekh Zainuddin bin Syekh Abdul Aziz bin Al ‘Allamah Syekh Zainuddin.[Hidayatul Azkiyak Ila Thariqil Auliyak]. Syekh Ali bin Syekh Ahmad As Syafi’I Al Malibari Al Fanani. [Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratul ‘Aini Bimuhimmatiddin].Hasyiyah I’anah At-Thalibin ‘a Halli Alfazhi Fathul Mu’in, Juz/ Jilid- III, Dar Mishriyah Surabaya.
Ijma’ Ulama Haram Wanita Muslimah Menikah Kepada Non Islam Sama Ada Majusi Atau Ahlu Kitab.
Ijma’ ulama dan sepakat ahli Fikih tidak diperbolehkan wanita muslimah menikahi laki-laki musyrik atau Ahlul Kitab (Yahudi atau Keristen).
Di dalam Alqur’an tegas menyebutkan tidak boleh wanita muslimah menikah dengan non Islam sama ada dari golongan Ahlulkitab (Yahudi dan Kristen) atau laki-laki Majusi (bukan agama samawi sepeti: Konghucu, Budha, Hindu, dlsb) sebagaimana terdapat didalam Surah Almumtahanah sebagai berikut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا جَآءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَهُنَّ حِلُُّ لَّهُمْ وَلاَهُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَءَاتُوهُم مَّآأَنفَقُوا وَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَآءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلاَتُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْئَلوُا مَآأَنفَقْتُمْ وَلْيَسْئَلُوا مَآأَنفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمُُ .{سورة الممتحنة [60] : 10}
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. Almumtahanah [60] : 10)
Ayat di atas yang berbunyi : “Laahunna Hillul Lahum Walaahum Yahilluuna Lahunna”/ لاَهُنَّ حِلُُّ لَّهُمْ وَلاَهُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ; Wanita Islam tidak halal bagi mereka [laki-laki non Islam] dan mereka [laki-laki non Islam] tidak halal bagi wanita Islam). Ayat ini jelas menerangkan wanita yang sudah masuk Islam sedang suaminya bukan Islam atau tidak mau memeluk Islam, perkawinan mereka harus dipisah dari suaminya yang bukan Islam, karea Allah Swt tidak menghalalkan hubungan mereka berdua dalam satu atap perkawinan. Apa lagi wanita yang dari awal sudah Islam ingin menikah atau melakukan perkawinan kepada laki-laki non Islam, maka perbuatan tersebut adalah bathil, haram dan jika terjadi perkawinan maka hubungan mereka sama dengan perbuatan zina (kumpul kebo). Jika dari perkawinan mereka ini melahirkan anak, maka anak tersebut dianggap anak zina.
Syekh Prof. DR. Yusuf Qardhawi mengatakan sebagai berikut:
وإذا كان زواج المسلم من بهائية باطلاً بلا شك، فإن زواج المسلمة من رجل بهائي باطل من باب أولى، إذ لم تجز الشريعة للمسلمة أن تتزوج الكتابي، فكيف بمن لا كتاب له ؟. ولهذا لا يجوز أن تقوم حياة زوجية بين مسلم وبهائية أو بين مسلمة وبهائي، لا ابتداء ولا بقاء . وهو زواج باطل، ويجب التفريق بينهما حتمًا. وهذا ما جرت عليه المحاكم الشرعية في مصر في أكثر من واقعة.
Tidak diragukan lagi bahwa pernikahan laki-laki muslim dengan wanita Baha’i (Majusi) adalah batil, begitu juga wanita muslimah terhadap laki-laki Baha’I (majusi) sangat tidak diperbolehkan dan perbuatan itu sangat batil. Sebagaimana didalam syari’ah tidak diperbolehkan bagi wanita muslimah menikah dengan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), terlebih lagi tidak boleh muslimah (wanita Islam) terhadap laki-laki majusi. Oleh karena itu tidak diperbolehkan hidup sepasang suami istri antara muslim dengan wanita majusi atau antara wanita muslimah dengan laki-laki majusi (Ahlul Kitab). Pernikahannya dianggap batil dan wajib kedua suami istri tersebut dipisah (diceraikan). Aturan ini sudah menjadi ketetapan didalam hukum perundangan Syari’ah di pemerintahan Mesir.
Pernikahan Non Islam Dalam Tinjauan Syari’at Di Indonesia
Majelis Ulama Indonesia sepakat tidak membedakan antara Ahlul Kitab dan Musyrikah (wanita majusi) dalam masalah pernikahan di Indonesia. Maka kesimpulan fatwa MUI di Indonesia pernikahannya diangggap tidak sah dan batil. Namun aturan ini belum menjadi kompilasi hukum Islam di Indonesia. Sehingga sekarang ini banyak terjadi pernikahan antar agama baik dari kalangan laki muslim dengan wanita nasrani atau sebaliknya.
Wanita majusi dengan laki-laki muslim atau sebaliknya. Campur aduknya pernikahan ini diperbolehkan didalam kenegaraan Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sehingga nampaklah amburadulnya aturan tentang hukum munakahat (undang-undang pernikahan) di tengah-tengah umat Islam di Indonesia. Disinilah perlunya hukum Taqnin; تدوين القوانين (mengkodofikasi undang-undang) yang akan di jadikan sebagai kompilasi hukum Islam. Maka peranan ormas Islam terutama Al Jam’iyatul Washliyah harus memiliki peranan yang penting dalam penentuan tentang kompilasi hukum pernikahan antar agama di Indonesia.
Lantas kenapa MUI di Indonesia menyamakan Ahlul Kitab dan Majusi dalam konteks pernikahan. Diantaranya MUI menilai untuk melihat kemaslahatan yang lebih besar lagi bagi tatanan sosial kemasyarakatan di Indonesia. Sebagaimana kaidah Fikih menyebutkan sebagai berikut:
إذا تعارضت المصالح بدئ بأهمها .
“Apabila bertentangan kemaslahatan, maka didahulukanlah yang lebih membawa kemaslahatan (yang terbaik).”
إذا تعارضت المصلحة والمفسدة قدم أرجحهما .
“Apabila bertentangan kemaslahatan dan kerusakan, didahulukanlah yang lebih membawa kemaslahatan.”
إذا كان في المسألة قولان مصححان جاز الإفتاء والقضاء بأحدهما .
“Apabila terdapat dalam suatu masalah dua pendapat yang dianggap benar, diperbolehkan untuk difatwakan dan menjadi ketentuan hukum salah satu diantara keduanya”
اعتبار المصالح ودرء المفاسد .
“Menitikberatkan kepada yang lebih membawa kemaslahatan dan meninggalkan yang membawa kerusakan”
أكبر الرأي بمنزلة اليقين .
“Pendapat yang paling tertinggi adalah terletak pada keyakinan”
أمور المسلمين محمولة على الصحة .
“Urusan kaum Muslimin harus diatur secara benar”
الأحكام والشرائع بحسب اختلاف الزمان .
“Hukum-hukum dan syari’at disesuaikan dengan perubahan zaman”
الأحكام تتبع المصالح .
“Hukum yang ditetapkan melihat pada kemaslahatan”
Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan hukum perkawinan terhadap non Islam yaitu sebagai berikut :
1- Wanita non Islam selain wanita Ahlul Kitab (Nasrani dan Yahudi) mutlak haram dinikahi. Mereka dianggap bukan penganut agama samawi dan mereka inilah yang disebut dengan “Al Musyrikah” yaitu wanita musyrik atau Majusi.
2- Hukum dasar menikahi wanita Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) menurut jumhur ulama Ahlussunnah Waljama’ah boleh dinikahi. Kecuali menurut Syi’ah Ahlul Kitab tergolong Musyrikah yaitu wanita musyrik sama dengan majusi. Maka bagi Syi’ah haram menikahi wanita-wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani).
3- Ijmak ulama dan ahli Fikih haram bagi wanita muslimah menikah dengan laki-laki non Islam sama ada majusi atau Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen). Jika terjadi pernikahan nikahnya tidak sah dan rumahtangganya sama dengan kumpul kebo yaitu perbuatan Zina. Jika lahir anak maka anaknya tergolong anak zina.
4- Pendapat MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan ormas Islam Al Washliyah pernikahan antar agama diharamkan. Sama ada menikahi wanita-wanita musyrik (Majusi) atau Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani). Tetapi larangan MUI ini belum menjadi ketentuan hukum negara sehingga fatwa ulama bercampur antara yang membolehkan dan yang melarang. Terjadilah di Indonesia pernikahan antara agama tidak karuan mana Ahlul Kitab ataupun Majusi. Yang akhirnya kita banyak menjumpai sekarang ini terjadinya pernikahan silang beda agama yang tidak di kontrol lembaga-lembaga Islam yang berkompeten seprti KUA Islam, MUI dan ormas Islam. Dengan demikian ormas Al Washliyah memiliki peranan penting untuk menjadikan hukum Taqnin ini menjadi hukum kompilasi hukum Islam untuk menghapuskan istilah kawin sipil atau melakukan pencatatan perkawinan karena beda agama diluar negeri. Sehingga ada aturan negara yang tegas terhadap pernikahan antara agama di Indonesia.
5- Al Washliyah harus menjadikan pernikahan beda agama ini menjadi hukum Taqnin sehingga larangan ataupun yang membolehkan terhadap pernikahan beda agama harus menjadi kompilasi hukum Islam di Indonesia dan menghapuskan istilah adanya kawin sipil. Agar praktik-praktik pernikahan beda agama tidak menjadi momok yang tak kunjung selesai, malah menjadi konflik dimasyarakat. Dengan demikian Taqnin yang diambil dan yang telah ditetapkan harus ada aturan dan sangsinya. Taqnin ini bertujuan semata-mata untuk mencari kemaslahatan tatanan sosial keagamaan di Indonesia agar kondusif tidak terjadi kesenjangan status sosial dan keturunan generasi bangsa kedepan.
6- Hasil dari Taqnin ini, ormas Al Washliyah harus mengajukan proposal kepada DPR-RI untuk menjadikan pernikahan beda agama memiliki aturan-aturan yang jelas dan ada sangsinya yang tegas ketika sudah menjadi kompilasi hukum Islam. Sehingga tatanan sosial masyarakat mendapat aturan yang jelas dari negara.
KH. Ovied.R
Sekretaris Dewan Fatwa Al Washliyah Se-Indonesia, Guru Tafsir Alqur’an/Perbandingan Madzhab Fikih Majelis Ta’lim Jakarta & Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di Malaysia]. Email:dewanfatwa_alwahliyah@yahoo.com, Facebook : Buya Ovied
menurut saya,meskipun indonesia ini beragam suku,budaya n agamanya, dalam pandangan islam ini,menikah beda agama hukumnya haram n tidak sah,meskipun dalam qs.al-maidah ayat 5 dihalalkannya seorang pria muslim menikah dengan wanita ahlu kitab,kondisi aqidah umat yahudi n nasrani saat ini jelas telah menyimpang dari ajaran taurat n injil yang asli,saya berharap pemerintah n ulama sepakat membuat peraturan UU tentang pernikahan yang melarang pernikahan beda agama,agar hal ini tidak membawa kemaslhatan bagi umat islam ahlussunah wal jamaah yang menjadi mayoritas penduduk bangsa indonesia, apabila pria non-muslim,baik itu yahudi,nasrani n majusi(non yahudi n nasrani),jelas hukumnya haram
Jaman sekarang yahudi dan nasrani menurut saya sdh tidak bisa d bilang sbg ahlul kitab… isi kitab mereka sdh melenceng jauh dari wahyu yang Allah berikan kpd Nabi Musa dan Nabi Isa…