JAKARTA – Melonjaknya harga bawang sekaligus kelangkaan yang meresahkan masyarakat dalam dua pekan terakhir ini bisa saja terjadi permainan antara importir, kartel, pemburu rente dengan orang-orang parpol untuk kepentingan politik di 2014.
Akan tetapi, masalah rente itu selalu terjadi apakah menterinya dari parpol atau tidak, seperti sebelum reformasi dulu. Hanya saja dengan kebijakan Menteri Pertanian (Mentan) yang memperbanyak pengeluaran izin importir dari 21 menjadi 131 importir, justru makin memperumit impor bawang dan distribusinya ke tengah masyarakat. Banyaknya surat menteri itu justru melanggar UU dan Permentan sendiri.
“Padahal, sebelum ada aturan Mentan impor bawang dan holtikutura lainnya berjalan normal, sebaliknya setelah adanya aturan RIPH (Rekomendasi Impor Produk Holtikultura), dan SPI (Surat Perizininan Impor) malah makin semrawut,” tandas Ketua Komisi IV DPR RI Rhomahurmuzy yang juga Sekjen DPP PPP itu bersama peneliti LIPI Dhany Agung dalam diskusi “Harga Bawang Meroket, Di mana Peran Negara?” di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Kamis (21/3/2013).
Apakah ada permainan antara importir dengan pemagang kebijakan di Kementan, Rhomy menegaskan sebaiknya hal itu ditanyakan langsung ke Pak Siswono. Yang jelas keuntungan impor dari bawang saja bisa mencapai Rp 2,8 triliun. Tapi, yang menjadi pejahat sesungguhnya katanya, adalah IMF (International Monetary Fund). Lembaga ini yang secara agresif menjerat negara-negara sasaran dalam jaring sistem liberal dan mematikan dengan apa yang disebut aturan Letter of Intent (LoI) dengan Indonesia, termasuk dalam pasar bebas atau AFTA (Asia free trade area) dengan China dan dunia lainnya.
Sementara menurut UU No.13/2010 tentang impor, impor itu bisa dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi. Tapi, terbukti setelah terbitnya LoI tersebut produksi pangan Indonesia hancur, ditambah lagi impor yang dilakukan selama ini tidak disertai akurasi data pangan yang bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu Rhomy mempertanyakan, kenapa 21 importir lama yang siap dengan distribisi alokasi impornya kecil, tapi 131 importir baru dengan RIPH yang dibuat malah alokasinya besar. “Jadi, kemungkinan ada masa kekosongan tak diterbitkannya RIPH, dan atau sengaja RIPH nya diperlambat agar terjual terlebih dulu ke importir,” tambah Rhomy.
Karena itu lanjut Rhomy, Komisi IV mendesak Mentan Siswono mempercepat pengeluaran RIPH tersebut agar tak ada masalah dengan impor. Terkait itu, Komisi IV DPR akan Raker dengan Mentan Siswono pada Selasa (26/3) pekan depan untuk memperjelas masalah impor bawang dan juga daging serta holtikultura lainnya, agar tidak merugikan rakyat. “Jangan sampai surat menteri yang retroaktif, itu melegalkan yang haram atau melegalisasi yang ilegal. Kalau demikian, maka Menteri melawan sekaligus melanggar aturan di atasnya, yaitu UU dan peraturan menteri (Permen) sendiri,” tambah Rhomy.
Anehnya lagi menurut Dhany, impor bawang itu bukan saja dari China, tapi juga dari Belanda, Perancis, dan India. “Jadi, surat dan peraturan menteri itu menimbulkan pertentangan dengan melonjaknya harga bawang sendiri. Jadi, memang harus ada proteksi atau perlindungan untuk ketahanan pangan di negeri ini dengan peningkatan produksi, keseimbangan harga dengan barang impor, insentif petani dan atau bisa melibatkan Perum Bulog,” katanya.
Padahal kata Rhomy, amanat UU No.8 tahun 2012 tentang pangan dan UU No.13 tahun 2010 tentang holtikultura tersebut bertujuan untuk melindungi petani domestik. Tapi, diakuinya dengan kesemrawutan tata kelola impor dan pengelolaan pangan pasca LoI dengan IMF tersebut, plus adanya pengusaha dan kebijakan pejabat yang tidak bertanggungjawab, maka impor menjadi tak terkendali, dan karenanya semua harus dievaluasi secara komprehensif dalam pencapaian kedaulatan dan ketahanan pangan dalam negeri. (gardo)