MENJELANG Pemilu 2014 semua partai politik berkompetisi meraih citra “baik” di hadapan masyarakat. Kemajuan teknologi informasi yang diletakkan dalam ruang demokrasi membuat siapapun tokoh dan partai politik yang terlibat praktik korupsi akan dinilai masyarakat tanpa sensor. Kondisi ini merupakan tantangan bagi para tokoh politik untuk berjuang mempertahankan kebenaran partainya melalui saluran politik yang mendidik.
Di tengah cobaan politik yang menghunjam demokrasi saat ini, ada hal menarik yang perlu diulas secara serius yaitu politik uang. Sudah menjadi hal lumrah ketika ingin menjadi anggota DPR atau jabatan lainnya di tingkat mana pun, pasti mengeluarkan modal ekonomi besar (high cost politic). Pada konteks ini modal ekonomi tidak sepenuhnya salah dalam praktek politik, asal tidak mencederai demokrasi.
Namun, hari ini politik uang semakin kental merusak sistem politik nasional. Pembiayaan ekonomi yang diharapkan mampu menggerakkan partai untuk memilih dan menjadikan para calon legislatif dengan kualitas yang pantas menduduki kursi kepemimpinan dinilai gagal dan cenderung dipolitisir semata untuk keuntungan segelintir orang maupun kelompok.
Politik uang hari ini telah membuat kehidupan politik nasional tidak produktif. Kualitas kepemimpinan tidak lagi dilihat dari modal intelektual maupun moral, tetapi lebih dominan pada kepunyaan modal ekonomi. Kondisi ini berdampak pada buruknya pendidikan politik yang harus diterima masyarakat.
Munculnya istilah “AMBIL UANGNYA JANGAN PILIH ORANGNYA” adalah perwujudan dari kejenuhan masyarakat akan hadirnya politisi yang mampu mendidik dan menjadikan Indonesia menjadi lebih baik. Kursi pemimpin dan uang seakan menjadi dilemma yang menguatkan buruknya pendidikan politik nasional. Tanpa disadari masyarakat terutama dari kalangan bawah yang menerima praktek pendidikan politik tidak produktif itu seakan menyepakati bahwa menjadi anggota DPR RI akan berlimpah harta, sehingga sebelum mereka menjadi (pemimpin), maka harus ada given uang-nya dulu (simbiosis mutualisme).
Politik uang yang melekat dalam praktik politik saat inilah yang akhirnya melahirkan pemimpin yang melukai hati rakyat. Pemimpin telah mengeluarkan bahkan membuang banyak uang, alih-alih mau menjadi penyambung lidah rakyat yang bersih, pada akhirnya harus tersangkut korupsi karena harus mengembalikan modal yang sudah ia keluarkan di dalam ritual politik.
Refleksi di atas seakan sulit untuk lenyap dari budaya politik negari ini, namun usaha pembersihan budaya itu tetap harus tumbuh agar budaya politik yang lebih bernilai dan berani akan muncul sebagai peradaban politik yang mencerahkan.
Di mana high cost politic tidak lagi menjadi perangkap atau bumerang bagi para calon legislatif dikemudian hari. Disinilah diperlukan peran KPU (Komisi Pemilihan Umum) untuk mengeluarkan aturan terkait dengan cost politic yang tidak terlalu bombastis, sehingga biaya kampanye yang tinggi wajib ditekan dengan sendirinya dapat berdampak terhadap perilaku politisi untuk tidak melakukan korupsi di kemudian hari yang akhirnya dapat mewujudkan dunia politik yang bersih dari transaksi-transaksi sesat, sehingga mampu berpijak kepada politik yang bermartabat serta bernilai luhur.
Semoga bangsa ini dapat keluar dari politik yang tidak produktif dan selalu terus bersemangat untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Budaya politik yang sehat dan bermartabat niscaya akan meninggikan kesejahteraan masyarakat kelak.
Wizdan Fauran Lubis
Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Al Washliyah