JAKARTA – Mantan Anggota Komisioner Komisi Pemiluhan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tengah, Yahdi Basma menyatakan, bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PHPU. D-X/2012 tentang Pungutan Suara Ulang (PSU) untuk Pilkada kabupaten Morowali tidaklah logis.
Pasalnya, dalam memutuskan PSU majelis hakim MK hanya memberikan waktu 60 hari. Sehingga, tidak mungkin memberikan hasil demokrasi yang maksimal. “Saya simpulkan, tidak mungkin meraih kualitas demokrasi dalam PSU Jika dilaksanakan 16 Maret,” jelasnya dalam diskusi bertajuk “Membangun Pilkada Yang Besih, Menuju Pemilu 2014” yang di gagas Komunitas Jurnalis Peduli Pemilu (KJPP) di Media Center KPU, Jl. Imam Bonjol, Menteng, Jakarta, Sabtu (9/03).
Selain tidak logis, Yahdi juga mempertanyakan, bagaimana keputusan PSU di daerah lain bisa diberikan waktu yang lebih renggang. Pasalnya, PSU di daerah lain ada yang 90 hari untuk pelaksanaan. Meski demikian, Yahdi tidak menyalahkan seratus persen keputusan Mahkamah yang dipimpin Mahfud MD tersebut. Karena pihaknya yakni, KPU Provinsi Sulawesi Tengah seakan memaksa untuk menjalankan keputusan tersebut.
“Sampai-sampai pengadaan barang dan jasa untuk PSU Kabupaten Morowali, dengan penunjukan langsung. Padahal anggarannya sebesar Rp 25 miliar,” tutur Yahdi.
Tentu saja hal itu, melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) no 70/2012 tentang pengadaan barang dan jasa. Dimana, lelang yang bisa dilakukan penunjukan langsung hanya berlaku untuk anggaran dibawah 100 juta,” jelas Yahdi.
Atas hal tersebut, Yahdi pun mengajukan pengunduran diri dari KPU Provinsi Sulteng. Yahdi mengundurkan diri, beralasan karena menolak Pemunguran Suara Ulang (PSU) Kabupaten Morowali tahun 2013.
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PHPU. D-X/2012 yang memutuskan Pilkada ulang di Morowali. Dan saya simpulkan, tidak mungkin meraih kualitas demokrasi yang baik,” terangnya.
Dia beralasan dengan amar putusan MK selama 60 hari akan digelar Pilkada ulang akan diputuskan sangat tidak rasional.
“Sikap saya ini mengacu pada jurispendensi berupa Ketetapan MK diberbagai eksekusi PSU yang diberi tambahan waktu jika memang secara teknis beralasan,” katanya.
Bahkan selama ini dengan pengunduran dirinya, Yahdi juga mengalami layanan administrasi yang diskriminatif dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajiban sebagai komisioner. Bahkan tidak diberi akses informasi yang memadai. Dan, bahkan tidak pernah mendapat undangan Rapat Pleno setelah tanggal 9 Februari 2013,” ungkapnya.
Dia menambahkan, PSU yang membutuhkan dana sebesar Rp 25 miliar tidak disiapkan dalam APBD 2012, dan APBD 2013. “Sehingga bila mengeluarkan dari item APBD yang ada sudah melanggar undang-undang yang berlaku, “tambahnya.
Menanggapi hal itu, Pengamat Poltik UI, Bonie Hargens mengatakan, dengan tarik ulurnya waktu dalam proses Pilkada, merupakan Kejahatan yang luar biasa dan dalam pemilu nanti tidak tertup kemungkinan pasti ada.
“KPU Provinsi Sulawesi Tengah yang seakan memaksa untuk menjalankan keputusan tersebut dan dengan pengunduran komisioner akan berdampak buruk pada kualitas pemilu yang akan datang, bahkan bis sumir, orang sulit untuk membuktikannya dan akan berhenti pada tuduhan,” jelasnya.
Dampak buruk pilkada yang membedakan batasan, Kata Bonie, bukas saja sebuah kejahatan tetapi itu bisa menjadi ruang kejahatan. Ketika daerah pemilihan itu bisa diatur berdasarkan Calon-calon tertentu.
“Para politisi ini bermain dengan KPU untuk mengatur batasan batasan agar daerah pemilihan itu untuk bisa memberi ruang untuk menang, seringkali konflik antar elit itu terjadi disitu. Dan KPU juga bermain didalam jual beli suara atau pencurian suara, dan itu tidak bisa terjadi jika tidak melibatkan orang dalam,” terangnya. (gardo)