ISLAM sangat menjunjung tinggi kesucian. Suci atau bersih yang biasa kita sebut selalu kepada hal-hal yang baik. Kita mengenal ada istilah kesucian batin, kesucian zhahir yang meliputi pakaian dan seluruh anggota tubuh manusia ataupun seluruh benda dan makanan yang hendak kita konsumsi dan gunakan. Kebalikan dari kesucian itu adalah kotor atau bernoda.
Kesucian yang kita angkat dalam artikel ini adalah kesucian zahir dan bathin dari perbuatan maksiat dan perzinahan. Pernikahan didalam Islam salah satu tujuannya adalah untuk memelihara kesucian yaitu kesucian dari maksiat, fitnah atau perzinahan.
Pernikahan dianggap sakral karena seseorang tersebut sudah berusaha dan mampu menahan dengan sekuat mungkin untuk menjaga dirinya dari segala perbuatan tercela seperti maksiat dan perzinahan dari usianya sejak akhil balikh (to attain puberty, be sexually mature) sampai masa pernikahan. Jika seseorang yang tidak mampu menahan dirinya dari perbuatan maksiat atau perzinahan maka masa pernikahannya tidak dapat dikatakan sakral lagi atau pernikahan yang membawa berkah. Pernikahan tersebut hanya sebagai pertobatan menuju kesucian untuk menyambung kehidupan dalam mahligai rumah tangga. Namun apabila pernikahan itu tidak membawa seseorang menjadi tobat atau menjaga kesuciannya maka orang ini disebut durjana yang dosanya lebih besar dari orang yang belum menikah.
Golongan seperti ini disebut dengan “Zina Muhshan” artinya orang yang telah menikah berbuat zina. SanKsi bagi “Zina Muhshan” dua kali lipat dari orang yang berzina tetapi belum menikah (dalam Islam sangsi “Zina Muhshan” razam sampai mati). Disinilah Agama Islam sangat menjunjung tinggi hakikat dari pernikahan untuk memelihara nasab dan keturunan. Secara fitrah perzinahan itu memiliki dampak goncangan sosial yang amat besar dan berkepanjangan. Dari perzinahan akan muncul tindakan kriminal, pembunuhan, retaknya tatanan sosial dan hilangnya harga diri sebagai umat manusia. Hancurnya umat Yahudi, Nashrani dan kaum Jahiliyah terdahulu diantaranya karena perbuatan zina dan tidak adanya aturan yang jelas dan tegas terhadap hubungan antara laki-laki dan wanita.
Alqur’an memberikan ketegasan terhadap perbuatan zina. Lihat QS. Al Isra’ [17] : 32 : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”. Menuduh berzinah yang tidak benar saja dilaknat oleh Allah Swt apalagi benar-benar melakukan perbuatan zina. Lihat Alqur’an Surah An Nur [24] : 23 : “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah [wanita-wanita yang tidak pernah sekali juga teringat oleh mereka akan melakukan perbuatan yang keji itu] lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar,”.
Maka pernikahan itulah jalan sebaik-baik menjaga diri dari maksiat, fitnah dan perbuatan zinah. Sebagaimana Firman Allah Swt QS. Ar Rum [30] : 21 : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Didalam Surah An Nisa’ [4] : 3 disebutkan : “.. Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Secara psychology (‘ilmu an Nafs) memiliki makna yang tersirat begitu luas dalam pembentukan karakter etika akhlak di dalam Islam. Kenapa wanita yang bukan mahram (yang halal untuk dinikahi) diharamkan memandangnya dengan syahwat, menyentuh kulitnya dengan syahwat, berduaan laki-laki dan wanita yang bukan mahram ditempat yang sunyi karena takut fitnah, apa lagi lebih dari itu sampai melakukan perzinahan, (na’udzubillahi min dzalik). Aturan etika akhlak ini tidak dimiliki oleh agama umat-umat lain dari sejak Nabi Allah Adam (a.s) sampai kepada umat Nabi Isa (a.s). Manusia pada dasarnya sukar untuk menahan syahwat nafsunya terutama hubungan antara laki-laki dan wanita. Sehingga aturan-aturan tersebut di atas memberikan sebuah sugesti dan filter bagi umat Islam yang mau memperoleh kesucian lahir dan batin, agar tidak terjerumus kedalam lembah nista dari sebab perzinahan.
Kebanyakan orang-orang menganggap enteng akan aturan etika akhlak Islam tersebut, namun kenyataannya bagi mereka yang menentang aturan ini jatuh dalam kubangan yang kotor dan kegagalan yang nyata. Kita saksikan sama-sama apa yang terjadi akhir-akhir ini diseluruh belahan dunia terjadinya perdagangan wanita, kebebasan sex dan pergaulan, tindakan-tindakan kriminal dan narkoba yang disebabkan karena wanita, keturunan yang tidak menentu, tatanan sosial yang amburadul, setres, depresi bahkan ada yang gila, hak dan tanggung jawab antara laki-laki dan wanita termarjinalkan menyebabkan anak-anak terlantar tidak tau mana ayah dan ibunya yang sesungguhnya. Momok ini sekarang sudah menghantui mayoritas masyarakat Barat terutama di kawasan Eropa, Amerika dan Australia.
Menikahi Wanita Zina Atau Menikahi Wanita Hamil Diluar Nikah
Tentang menikahi wanita yang hamil diluar nikah (hamil karena sebab berzina) ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama yaitu sebagai berikut:
A. Janganlah menikahi anak zina yang sudah berbaur keturunannya yang tidak diketahui asal muasal ayahnya, artinya pernikahan tersebut makruh, namun hukumnhya mubah tidak diharamkan.
B. Dimakruhkan menikahi wanita yang berbuat zina artinya yang sudah terang dan jelas sebagai pelaku zina ataupun tidak jelas tapi memang benar anak zina.
C. Halal menurut kesepakatan (ulama) bagi orang yang berzina menikahi wanita yang dizinahinya.
D. Adapun orang yang bukan penzina menikahi wanita yang berzina, menurut satu golongan seperti Hasan Bashri : ”Jika terjadi pernikahan terhadap wanita penzina, nikahnya di fasakh (dipisahkan atau diceraikan)”. Sedangkan menurut Jumhur Ulama (kebanyakan para ulama) : ”Boleh menikahi wanita yang berzina”. Dalil Jumhur, sebagaimana Hadits yang dirwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar dan Al Baihaqi dari Aisyah r.a : ” La yuhramu al haramu al halalu; Tidak diharamkan yang haram itu (wanita berzina/ hamil diluar nikah), jika ingin dihalalkan (dinikahi”.). Begitu juga di dalam Alqur’an disebutkan: ” Wauhilla lakum ma-wara-a dzalikum; Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (wanita-wanita yang haram dinikahi)” (QS.An-Nisak [4] : 24).
E. Menurut Abu Hanifah : ”Apabila wanita yang dizinahi tersebut tidak hamil sah akadnya terhadap orang yang (tidak berzina) menikahinya. Begitu juga jika wanita tersebut hamil boleh dinikahi menurut Abu Hanifah dan Muhammad, namun tidak boleh disetubuhi (wanita zina yang hamil tersebut) sampai ia melahirkan”.
F. Menurut Abu Yusuf dan Zufar : “Tidak boleh akad (menikahi) wanita hamil karena zina, karena kehamilan tersebut menyeabkan larangan untuk mensetubuhinya dan akadnya tersebut dilarang sebagaimana tidak sah akad bagi wanita hamil yang bukan atas sebab zina. Maka kesimpulannya, tidak sah akad wanita hamil atas sebab zina.
G. Menurut Mazhab Maliki : ” Tidak boleh akad wanita (yang hamil) atas sebab zina sebelum suci (bersih) dari zina yaitu sampai keluarnya haidh selama tiga kali atau selama tiga bulan. Jika menikahi (wanita hamil diluar nikah) sebelum sucinya (sebelum melahirkan atau tiga kali berturut-turut haidh atau tiga bulan berturut-turut), maka akad tersebut dianggap fasid (rusak/ tidak sah) dan wajib di fasakh (dipisah/ diceraikan).
H. Menurut Mazhab Syafi’i :” Jika berzina laki-laki dengan seorang wanita, tidak diharamkan menikahinya meskipun sudah hamil”. Sama ada yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya ataupun orang lain yang bukan menghamilinya. Mazhab Syafi’i mengatakan : “Halal pernikahan tersebut dan sah (akadnya)”, karena mensetubuhinya tidak mempengaruhi terhadap nasabnya (anak yang dikandungnya) itu, maka tidak haram menikahinya sebagaimana menikahi wanita tersebut yang tidak hamil. Dalilnya, sebagaimana Firman Allah Swt : ”Wauhilla lakum ma-wara’a dzalikum; Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (wanita-wanita yang haram dinikahi)” (QS. An-Nisak [4] : 24). Dan Hadits Aisyah yang mengatakan : ”La Yuhramu al haramu al halalu; Tidak diharamkan yang haram itu (hamil diluar nikah) jika ingin dihalalkan (jika ingin dinikahi)”.
I. Menurut Mazhab Hanbali (Hanabilah): ”Apabila berzina seorang wanita, maka tidak dihalalkan bagi orang yang menikahinya kecuali ada dua syarat:
1. Selesai masa iddahnya, jika hamilnya karena zina, maka ditunggu sampai ia melahirkan, dan tidak halal nikahnya sebelum ia melahirkan.
2. Harus benar-benar bertaubat dari perbuatan zina yang telah dilakukannya. Adapun syarat ini tidak dipakai menurut Qatadah, Ishaq, Abu Ubaid, Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i. (Al Mughni Syarh Al Kabir, ibnu Qudamah)
Kesimpulam :
Perzinahan adalah dosa yang sangat besar, merusak keturunan, hilangnya kesucian nasab. Namun jika sudah terlanjur terjadinya perzinahan, demi kemaslahatan wanita yang hamil diluar nikah/ zina, keluarga dan masyarakat umum. Maka pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Syafi’i dan Jumhur Ulama yang mengatakan :” Jika berzina laki-laki dengan seorang wanita, tidak diharamkan menikahinya”. Begitu juga jika seseorang menikahi wanita hamil yang hamilnya disebabkan dari orang lain, tidak mesti menunggu kelahiran anaknya, hukumnya boleh. Namun Jumhur ulama menekankan laki-laki yang menghamilinya atau menzinahinya yang harus bertanggung jawab, bukan orang lain.
Mazhab Syafi’i berpendapat: “Halal pernikahan tersebut dan sah (akadnya)”, karena mensetubuhinya tidak mempengaruhi terhadap nasabnya (anak yang dikandungnya) itu, maka tidak haram menikahinya sebagaimana menikahi wanita tersebut yang tidak hamil.” Dalilnya, sebagaimana Firman Allah Swt : ” Wauhilla lakum ma-wara’a dzalikum; Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (wanita-wanita yang haram dinikahi)” (QS. An-Nisak [4] :24) . Dalam ayat ini tidak ada larangan menikahi wanita zina atau wanita hamil diluar nikah. Dan Hadits Aisyah yang mengatakan : ”La Yuhramu al haramu al halalu; Tidak diharamkan yang haram itu (hamil diluar nikah) jika ingin dihalalkan (jika ingin dinikahi)”.
Syarat anak zina dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya adalah: Apabila wanita zina tersebut hamil lalu dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya sebelum usia kandungannya di atas enam bulan dari ‘aqad nikah, maka setatus anak yang dikandungnya dapat dinasabkan kepada ayahnya. Jika laki-laki yang menghamili wanita tersebut belum dinikahinya setelah usia kandungannya diatas enam bulan dari ‘aqad nikah, maka setatus anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya.
Atau lahir anak zina tersebut kurang dari 6 bulan dari akad nikah tersebut, maka nasab anak tersebut terputus dari ayahnya. Sebagai contoh anak zina yang dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya adalah, jika masa kelahiran 9 bulan dari kehamilan, maka harus dinikahi wanita tersebut pada masa kandungannya dibawah 3 bulan, jika masa kelahirannya 8 bulan, maka harus menikahinya dibawah 2 bulan dari kehamilan, begitulah seterusnya (Al-Fiqh Al Islami wa Adillatuh, Prof.Dr. Wahbah Zuhaili).
Dan jika kelahiran anak tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana di atas, maka anak zina tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya dan sang anak tersebut tidak berhak mendapat waris/wali nika dari ayah kandungnya, namun berhak mendapat waris dari ibu kandungnya, sedangkan wali nikah menjadi wali hakim (Sidang Dewan Fatwa ulama-ulama Al Washliyah Se-Indonesia [Juli 2010] di Aceh). Bagi laki yang menghamili wanita tersebut yang menyebabkan lahirnya anak dapat dijatuhi sangsi (‘Uqubah) oleh pemerintah seperti harus bertanggung jawab memberikan nafkah kepada anak biologisnya sampai anak tersebut dapat hidup mandiri.
Penulis-KH. Ovied.R.
Sekretaris Dewan Fatwa Al Washliyah Se-Indonesia, Guru Tafsir Alqur’an/Perbandingan Madzhab Fikih Majelis Ta’lim Jakarta & Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di Malaysia].Email:dewanfatwa_alwahliyah@yahoo.com Facebook : Buya Ovied
salam,
setelah pernikahan anaknya lebih dari 5th mertua (ibu) menyatakan bahwa anak perempuannya adalah anak zina dengan suaminya yang menikahi ketika telah terjadi pernikahan, perlu diketahui kelahiran terjadi setelah 6 bulan akad nikah. setelah membaca beberapa sumber salah satunya di web ini lalu kami juga mencari informasi di web lainnya bahwa ternyata anak itu sah dinasabkan kepada lelaki yang menikahinya, namun yang membuat panik kami adalah ada pernyataan ini di web yang kami baca bahwa
didalam “al Fatawa al Hindiah” didalam Fiqih Hanafiyah yang menyebutkan : jika seorang lelaki berzina dengan seorang wanita dan wanita itu menjadi hamil kemudian lelaki itu menikahinya dan melahirkan maka jika wanita itu mengandung selama 6 bulan atau lebih maka nasab anak itu terkokohkan dan jika wanita itu mengandung selama kurang dari 6 bulan maka nasab anak itu tidak terkokohkan kecuali hanya sebatas pengakuannya—bahwa anak itu adalah anaknya—selama dia tidak mengatakan,”Sesungguhnya anak itu dari perzinahan.” Adapun jika dia mengatakan,”Sesungguhnya dia adalah dariku dari perzinahan.” Maka nasabnya tidak terkokohkan dan dia tidaklah mewariskan hartanya.”
yang menjadi masalah dikejadian kami adalah si ibu (mertua) mengakui bahwa anaknya yang sudah menikah itu adalah anak zina (terjadi kehamilan sebelum pernikahan).
untuk kejadian ini apakah yang harus kami lakukan, apakah sah pernikahan anak perempuannya ataukah harus pembaruan nikah dengan menganggap bahwa tidak sah nya si lelaki yang menikahi ibu mertua itu menjadi wali nikah di pernikahan anak permpuannya,
demikian pertanyaan kami, mengingat yang kami khawatirkan adalah pernikahan suami istri (si anak) tidak sah dan artinya zina terus dan terlebih jikalau memiliki anak perempuan kedepannya.
terimakasih banyak sebelumnya untuk perkenan jawabannya
Subhanallah…jauhkanlah anak dan cucu kami dari perzinahan