MEDAN – Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) dan Gedung Kesenian Medan (GKM) sebaiknya tergabung dalam satu kompleks. Sebab, antara TBSU yang dikelola Pemrov Sumatera Utara dan GKM yang dikelola Pemko Medan sama-sama mengurus kebudayaan dan kesenian. Sehingga pro dan kontra rencana relokasi TBSU dan menempatkan GKM di tempat TBSU yang lama bisa diredam.
Demikian dikatakan teaterawan dan budayawan Medan, D. Rifai Harahap (69) kepada Kabar Washliyah, Minggu, (3/3/2013), terkait pro kontra para seniman Medan tentang rencana relokasinya TBM.
“Sebaiknya, Pemko Medan dan Pemprov Sumatera Utara sama-sama menyadari TBSU dan GKM tempatnya masyarakat berekspresi (berkesenian-red) dan belajar berbagai kesenian dan kebudayaan. Tujuan TBSU dan GKM adalah sama,” kata sutradara dan penulis naskah drama ini.
D. Rifai Harahap berharap pihak Pemko Medan dan Pemprov bisa duduk satu meja untuk membicarakan “kegaduhan” dan protes Seniman Medan terkiat diambilalihnya TBSU oleh Pemkot Medan. Mayoritas Seniman Medan tidak ingin TBSU dipindahkan ke Tapian Daya, Medan. TBSU bagi Seniman Medan memiliki sejarah dan telah banyak melahirkan tokoh dan seniman sejak berdirinya 36 tahun silam. Sebaliknya, Pemko Medan dengan berlakunya UU Otonomi Daerah ingin menguasai areal TBSU.
Dikuasainya kompleks TBSU oleh Pemkot Medan dari Pemprov Sumatera Utara dikhawatirkan Seniman Medan lahan yang strategis itu akan dijual sebagaimana nasib Studio Film Sunggal Medan dan Medan Fair serta Tapian Daya Medan.
Ketakutan itulah membuat para Seniman Medan, elemen masayarakat dan mahasiswa melakukan protes dengan membuat panggung orasi di depan Gedung TBSU, Jalan Printis Kemerdekaan Medan sejak dua bulan belakangan ini. Dari informasi yang dihimpun Kabar Wasliyah, para Seniman Medan itu tidak akan berhenti melakukan aksinya, meski Walikota Medan Rahudman Harahap telah membuka Musyawarah Seniman Medan (MSM) pada Senin (25/2) lalu di Gedung Taman Budaya Sumatera Utara, Medan.
“Saya minta kepada Pemkot Medan dan Pemprov Sumatera Utara bersikap arif kepada seniman. Alangkah indahnya dan bijaksananya jika TBSU dan Gedung Kesenian digabungkan dalam satu kompleks, yakni di Jalan Printis Kemerdekaan Medan,” papar seniman yang pernah belajar di Madrasah Ibtidaiyah Al Wasliyah, Jalan Mabar, Medan ini.
Alasan kolomnis, penulis Cerpen dan Novel ini cukup sederhana, bila TBSU dan GKM berada dalam satu kompleks maka kedua tempat itu akan menjadi pusat kesenian dan kebudayaan di Medan dan Sumatera Utara. Jika keduanya dipisahkan dan berdiri sendiri, maka pusat kesenian menjadi terbelah. Selain itu katanya, sulit memantau perkembangan kesenian dan kebudayaan.
“Para senimannya ya itu ke itu juga. Nanti yang di TBSU dan GKM pelaku kreatifnya yang sama saja.Dia-dia juga. Jadi, buat apa dipisah?” papar D. Rifai Harahap.
Seniman yang akarab di sapa “Bang Darwis” ini menyadari bahwa secara administratif Pemko Medan dan Pemprov Sumatera Utara berdiri sendiri. Tapi, dalam hal mengelola kesenian dan kebudayaan di Medan (GKM) dan di Sumatera Utara (TBSU) tujuannya sama, yakni membangun kesenian dan kebudayaan.
“Soal adimistrasi kan bisa di atur. Seniman Medan berkeinginan, di TBSU (tempat sekarang-red) ada Gedung Kesenian Medan, ada juga Taman Budaya Sumatera Utara. Selain itu, disana ada kantor Dewan Kesenian Medan (DKM) ada juga kantor Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU). Sehingga nantinya, TBSU lebih kaya dan menjadi pusat kesenian di Medan dan di Sumatera Utara. Gabungan TBSU dan DKM akan seperti yang dimiliki negara Prancis dan negara-negara maju lainnya. Tentu akan lebih bergengsi!” tegas D. Rifai Harahap.
D. Rifai Harahap mengkhawatirkan, jika TBSU dan GKM berdiri sendiri, tidak akan berkembang dan malah akan staknan. Padahal maju-mundurnya sebuah provinsi dan kota dapat dilihat dari maju mundur kesenian dan kebudayaannya.
“Selain itu, para pelaku kesenian di TBSU dan GKM senimannya sama. Jadi, jalan yang terbaik adalah mengabungkan TBSU dan GKM di jalan Printis Kemerdekaan. Lokasi saja sudah strategis di pusat kota Medan,” himbaunya. (gardo)