JAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Al Washliyah (PP-HIMMAH), Aminullah Siagian, mendesak pemerintah untuk menghentikan dan mengambil alih kontrak karya blok migas Mahakam dengan alasan penerusan kontrak dengan pihak asing akan potensial merugikan negara minimal Rp1,98 triliun per bulan.
“Pemanfaatan kekayaan alam Indonesia itu dikembalikan ke negara dan negara bisa menugaskan BUMN,” ungkap Aminullah Siagian, di sekretariat (PP-HIMMAH) Jl.Cempak Putih, Jakarta pusat, Kamis (28/2.2013).
Bahwa prinsip demikian harus dilaksanakan Pemerintah sebagai perwujudan pasal 33 UUD 1945 yang mewajibkan bumi dan kekayaan alam dipelihara negara demi semaksimalnya kepentingan rakyat.
Amin, menjelaskan bentuk kerugian negara apabila Pemerintah tidak mau mengambil alih Blok Mahakam yang selama ini dikontrakkan ke Total E & P Indonesia milik Prancis dan Inpex Corporation Jepang.
Kontrak karya blok itu dimulai pada 31 Maret 1967, atau sebulan setelah Soeharto dilantik sebagai Presiden RI pada 26 Februari 1967. Kontrak itu berdurasi 30 tahun hingga 31 Maret 1997, yang kemudian diperpanjang dan akan berakhir pada 31 Maret 2017. Kata dia, saat ini total dan Inpex sudah mengajukan perpanjangan kontrak selama 25 tahun hingga 2042.
Adapun dari kontrak yang ada sekarang, jatah kedua kontraktor itu adalah 40 persen produksi minyak dari produksi perhari 93 ribu BOD, alias 37.200 barel. Dari jumlah itu, dengan asumsi harga minyak perbarel adalah USD100, maka nilainya USD3,72 juta.
Sementara dari gas di Blok Mahakam, jatah kedua kontraktor adalah 30 persen dari produksi per hari 2.200 MMSCFD atau 660 MMSCFD yang setara 660 ribu MMBTO. Jika diasumsikan harga pers MMBTO adalah USD5, maka nilai total pemasukan kedua kontraktor per hari adalah USD3,30 juta.
Total pemasukan per hari kedua perusahaan dari Blok Mahakam adalah USD7,02 juta atau sekira USD210,6 juta per bulan, atau setara Rp1,98 triliun per bulan. (gardo)