BerandaOpiniAl Washliyah Gerbong Akidah dan Syari’ah

Al Washliyah Gerbong Akidah dan Syari’ah

Setelah Dewan Fatwa mengadakan sidang fatwa di Banda Aceh 28 – 31 July 2010 yang di selenggarakan di “Hotel Rasa Mala Indah” yang dibuka oleh wakil Gubernur Nagro Aceh Darussalam Muhammad Nazar, S,Ag yang sebelumnya beliau langsung menyambut dengan jamuan makan malam di aula kantor kerjanya. Rasa hormat yang begitu besar segenab jajaran pengurus Al Washliyah dari Pengurus Wilayah, Kota, Kabupaten, Kecamatan dan daerah turut mendukung dan memeriahkan terlaksanyanya sidang fatwa ini. Jumlah peserta ulama Al Washliyah seluruh Indonesia yang mengikuti sidang ini sekitar 50 orang. Sidang fatwa ini dalam rangka untuk mengaktualisasikan agenda program kerja Dewan Fatwa Al Washliyah setelah muktamar Al Washliyah -XX yang telah dilaksanakan di Pondok Gede Jakarta pada tanggal 23-25 April 2010 yang lalu. Maka personalia pengurus Dewan Fatwa berkeinginan untuk menindak lanjuti program awal untuk menyongsong program kerja untuk lima tahun yang akan datang.

Sejarah telah membuktikan bahwa cikal bakal berdirinya dan berkembangnya ormas Islam Al Washliyah pada tahun 1930 yang lalu. Mereka adalah para kader ulama-ulama, syekh dan para tuan guru yang memiliki kualitas dan kemampuan diberbagai ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan agama. Ilmu pengetahuan agama yang kita kenal adalah Ilmu syari’at sebagi tolok ukur bagi kita dan umat bahwa kita dalam tatanan sosial, politik, budaya, ekonomi dan berbagai macam aspek kehidupan didasari, bersumber dan berpedoman kepada Syari’at yang sesuai dengan Ahlussunnah Waljama’ah.

Sidang Fatwa Al Washliyah-I dengan tema “Dewan Fatwa Al Washliyah Sebagi Gerbong Sentral Rujukan Umat” memiliki visi dan misi bahwa ulama-ulama Al Washliyah seluruh Indonesia siap untuk menjawab tantangan umat dari berbagi aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, dll, yang merupakan icon sebagai rujukan kontrol bagi umat dalam menghadapi berbagai persoalan yang diperlukan umat sekarang ini.

Akidah

Peranan Al Washliyah telah diakui sejak sebelum resminya sebagai ormas Islam yang lahir di Sumatera Utara oleh ulama-ulama tradisional sebelumnya seperti Syekh Muhammad Ya’qub (asal Tapsel) merantau ke Asahan Sumatera Timur mendirikan Tariqat Naqsabandiyah. Beliau mendapat julukan gelar dengan “Mu’allim Mu’min/Guru Agama yang beriman”. Pada tahun 1883 ia pindah ke Medan. Mendapat hadiah sebidang tanah di Jalan Sungai Rengas untuk pendidikan Madrasah Turats Talaqi/ Sorogan oleh Sultan Deli Perkasa Alamsyah di Medan. Lalu Syekh Muhammad Ya’qub sebagai pendiri Maktab Islamiyah Tapanuli [MIT] mendapat waqaf sebidang tanah untuk MIT dari Datuk Haji Muhammad Ali seorang hartawan Melayu Kesawan Medan untuk mendirikan Maktab Islamiyah Tapanuli [MIT]. Selesai didirikan MIT 8 Maret 1918, lalu diresmikan pada tanggal 19 Maret 1918.

Syekh Ja’far Hasan (1883-1950) adalah pendiri Rumah Talaqi/Sorogan (mengaji duduk/madrasah bersistem halaqah Batak Mandailing Medan, sekitar tahun 1895..?) dari pendidikan talaqi ini berkembang dan berlanjut mendirikan menjadi sekolah formal yaitu Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) pada tahun 1918, MIT yang didirikan oleh Syekh Muhammad Ya’qub ini adalah sekolah formal yang pertamakali beridiri di Sumut-Medan.

Syekh Ja’far Hasan (1883-1950), lahir di Roburan Lombang Penyabungan Tapsel, ayahnya bernama Syekh Hasan Tanjung, tahun 1895 merantau ke Deli bersama pamannya H. Abdul Hamid. Beliau belajar ke Makkah tahun 1904 diantara gurunya: Syekh Abdul Qadir Al Mandaily dan Syekh Said Yamani. Lalu melanjutkan belajar ke Mesir Al Azhar University. Pada tahun 1914 kembali ke Medan dan mendirikan pengajian Surau yang mengajarkan ilmu alat (Nahwu, Sharaf, Manthiq, dll).

Syekh Muhammad Yunus (1889-1950), lahir di Kampung Percukaian Binjai, Langkat putra dari Haji M. Arsyad yang berasal dari Gunung Baringin, Penyabungan, Tapsel. Berguru dengan Abdul Thalib Sigli [Aceh]. Tahun 1909 belajar kepada Syekh Muhammad Idris [Kedah Malaya], lalu melanjutkan belajar ke Makkah, lalu belajar kembali ke Penang [Malaysia] kepada Syekh Jalaluddin dan Syekh Abdul Majid. Beliau dikeal juga sebagai ulama Tasawuf, namun tidak mau mengajarkan khusus kepada murid-muridnya. Seorang ahli Fikih bermadzhab Syafi’i . Beliau termasuk salah seorang pendiri Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT).

Asal usul berdirinya ormas Al Washliayh yaitu mula-mula munculnya Organisasi “Debanting Club”: Pada tahun 1928 yang digerakkan oleh murid-murid Madrasah Islam Tapanuli (MIT) dari kelas tertinggi yang berkeinginan untuk membentuk sebuah perhimpunan pelajar yang disebut “Debanting Club” dipimpin oleh Abdurrahmnan Syihab. Tujuan Debanting Club adalah yang asal mulanya hanya sebagai tempat mengadakan diskusi mengenai pelajar-pelajar saja. Yang kemudian berlanjut untuk membicarakan masalah sosial bahkan mengenai masalah adanya paham baru yang muncul dikalangan masyarakat, yaitu paham Muhammadiyah yang berdiri di Medan tahun 1928. Umumnya masyarakat di Sumatera Timur bermadzhab Syafi’I (paham tradisional) tetapi munculnya golongan yang tidak terikan pada salah satu madzhab, yang dikenal dengan “Kaum Muda”. Golongan ini hanya memakai sumber hukum dari Al Qur’an dan Hadits. Mereka menolak taqlid. Debanting Club ingin berperan serta untuk menghadapi masalah tersebut di atas dan mencoba menjadi penengah. Oleh karena itu mereka memperluas bentuk perhimpunannya, dengan melebur dirinya menjadi sebuah organisasi yang disebut Al Jam’iyatul Washliyah (disingkat Al Washliyah). Organisasi ini bermadzhab Syafi’I, berdiri tahun 1930).

Diantara Ulama-ulama Yang Memiliki Peran Berdirinya Al Washliyah

Syeikh Al Haj Mahmud Yunus (1889-1950. Tuan Guru Yang merestui organisasi, Penashat ormas Al Washliyah), dikenal seorang ahli fikih, ahli Hadits, ahli sejarah Islam, ahli ilmu-ilmu Tafsir. Bermadzhab Imam As Syafi’i.

Seikh Al-Haj Imam Paduka Tuan Hasan Ma’sum (Lahir sekitar tahun 1884 dan wafat pada tahun 1936), putra dari Haji Maksum. Tahun 1926 diangkat oleh Sultan Perkasa Alamsyah menjadi Mufti kerajaan sultan Deli Medan, dengan gelar “Imam Paduka Tuan”. Diantara gurunya: Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (Murid-murid Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi diantaranya: Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Karim Amrullah (HAMKA) dan di Jawa KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). Sebagai murid-muridnya tetap dalam lingkungan tradisi, diantaranya Syekh Sulaiman Al Rasuli di Minangkabau dan KH. Hasyim Asy’ari di Jawa [Pendiri NU]) Syekh Hasan Ma’shum ini lahir pada 1855 dan guru beliau yang lain adalah Syekh Abdul Qadir Al Mandaili. Dikenal ahli ilmu, wara’, ahli Fikih (Faqih), ahli ilmu Falak, Ulama Shufi yang sangat berpengaruh, ahli Hadits, ahli sejarah Islam, ahli ilmu-ilmu Tafsir. Bermadzhab Imam As Syafi’i.

Syekh Muhammad Ya’qub (pendiri Maktab Islam Tapanuli [MIT] mendapat waqaf sebidang tanah untuk MIT dari Datuk Haji Muhammad Ali seorang hartawan Melayu Kesawan Medan. Selesai didirikan MIT 8 Maret 1918 diresmikan 19 Maret 1918).

Syeikh Al Haj Ismail Banda yang lahir pada tahun 1910 di Medan. 1930 belajar ke Makkah dan Al Azhar Mesir. Di Mesir aktif dalam organisasi kemahasiswaan yang bernama Jami’ah Hairiyah [1930]. Pada tahun 1931-1938 ia turut aktif dalam pergerakan mahasiswa yang bersifat politik. Tahun 1938 ia aktif dalam perhimpunan Pemuda Indonesia Malaya [Perpindo]. Selama di Mesir sejak tahun 1930-1942 ia menjadi pembantu tetap surat kabar Pertiwi Deli [Medan] dan Pemandangan Jakarta dan juga menjadi staf redaksi surat kabar Ikhsan seksi luar negeri. Di Mesir dan aktif menulis di majalah Medan Islam dan Dewan Islam, keduanya terbit di Medan. Belaiu juga adalah berasal dari Pelajar Islam Maktab Islamiyah Tapanuli Medan. dikenal seorang politikus, nasionalis (pernah ditugaskan sebagai diplomat pada era Sukarno, wafat dalam tugas kecelakaan pesawat di Thehran (Iran), beliau dimakamkan di Iran). Beliau dikenal ahli fikih, Hadits, sejarah Islam, ilmu-ilmu Tafsir dan bermadzhab Imam As Syafi’i.

Syekh Abu Bakar Ya’qub Lahir 12 Juli 1915 di Medan. Ayah beliau bernama H.M. Ya’qub Nazir MIT asal dari Raburan Lombang, Mandailing, Tapsel. Syekh Haji Abu Bakar Ya’qub bersaudara 24 orang dan merupakan anak ke-17, ia menjadi nazhir sebagai pengganti ayahnya pada tahun 1928.

Seikh Al-Haj Arsyad Thalib Lubis, 1908-1972. Beliau juga salah seorang Pelajar Islam Maktab Islamiyah Tapanuli Medan. Dikenal seorang ahli Publisistik (Pers), Fikih, Hadits, sejarah Islam, ilmu-ilmu Tafsir dan bermadzhab Imam As Syafi’i. Pengalaman beliau diantaranya pernah keluar dari kepengurusan Al Washliyah pada tahun 1935 (sebab kontrofersial ikhtilath laki-laki dan wanita). Aktif kembali tahun 1937. Diantara karya beliau adalah: “ Ushul Fikih berbahasa Arab, Mushthalah Al Hadits berbahasa Arab, Rahasia Bibel (yang ditulisnya pada waktu beliau masih remaja), Perbandingan agama Kristen dan Islam, Ilmu Fikih, Islam dan Ruang Angkasa, Pemimpin Haji Mabrur, Fatwa, Ke-Esaan Tuhan Menurut Ajaran Kristen dan Islam, Dan lain-lain”.

Seikh Al-Haj Abdurrahman Sihab, 1910-1955. Beliau juga salah seorang Pelajar Islam Maktab Islamiyah Tapanuli Medan. Dikenal seorang tokoh muderat, ahli Fikih, Hadits, sejarah Islam, ilmu-ilmu Tafsir dan bermadzhab Imam As Syafi’i. Beliau lahir di Paku, Galang, wilayah kerajaan Serdang tahun 1910. Istri beliau bernama Norma binti A. Malik. Memiliki anak : 5 orang (3 laki-laki, dan 2 perempuan). Ayah beliau bernama Haji Syihabuddin bin Jamanggis Qadi Galang. Asal Sayurmaincat kota Nopan Tapsel. Ibu beliau bernama Tupin binti Lebai Karim asal Sayurmaincat Kota Nopan Tapsel. Pendidikan beliau: (1) Madrasah Sairus Sulaiman (kepunyaan Kerajaan Perbaungan). Tamat tahun 1922 (2) Vervolgschool Perbaungan tamat tahun 1922. (3) Maktab Islamiyah Tapanuli (1924-1932). (4) Madrasah Hasaniyah (milik Syekh Hasan Maksum). (5) Belajar bahasa Inggris (6) Belajar Stenografi.

Pengalaman beliau dalam usia 18 tahun sudah mengajar di Madrasah Sekip Petisah Medan. Menghadiri kongres PERTI II di SUMBAR tahun 1939. Ketua Pengurus besar Al Washliyah. Pengawas Pendidikan Al Washliyah. Ketika berangkat haji dari Belawan diantar oleh jemaahnya sekitar 2000 orang karena kharismanya beliau sebagai pemimpin umat. Ketua Pengurus besar (1934-1942). Ketua II (1930-1932). Ketua II majlis Fatwa tahun 1934. Anggota Mufattisy Umumi (Inspeksi Pendidikan untuk seluruh wilayah) pada tahun 1938. Pimpinan Dewan Redaksi Medan Islam 1934. Pimpinan Redaksi Majalah Raudhatul Mu’allimin. Diluar Al Washliyah beliau aktif sebagai Anggota pengurus Warmusi (Wartawan Muslimn Indonesia) tahun 1938-1942. Pengurus Ikhwan al Shafa (persaudaraan yang tulus) Indonesia di Medan 1938. Wakil ketua Perikatan Ulama di Sumatera Timur 1939. Ketua Majelis Penyiaran Islam 1935-1942 atas penunjukan dari MIAI. Penasehat Taman punan Indonesia dan Malaya di Makkah 1939.

Mereka semua merupakan gerbong penggerak dakwah Akidah Islam dinusantara ini. Akidah yang memiliki interpritasi ke-Tuhanan yang Maha Esa yang merupakan sila pertama pancasila asas NKRI. Disinilah peranan Al Washliyah terutama Dewan Fatwa Al Washliyah merupakan lembaga sentral kontro organisasi yang meliputi, pendidikan, sosial, ekonomi, dakwah dan keintelektualan.

Intepretasi Akidah yang dimotori Al Washliyah kiranya agar dapat bangsa ini bercermin kepada nilai-nilai ketuhanan sehingga dapat terbentuk budaya yang memiliki etika, ketauladanan dan akhlak syariat yang akan membentuk karakter bangsa Indonesia dalam menyongsong peradaban bangsa. Terjadinya kehancuran pada masa Orde Baru sampai sekarang ini yang disaksikan lebih dari dua ratus tiga puluh juta penduduk Indonesia, kita belum juga dapat keluar dari himpitan mafia kasus, makelar, KKN, Nepotisme, koropsi, bobroknya birokrasi, atau dapat dikatakan hampir disegala bidang mengalami keterpurukan.
Disinilah peranan akidah merupakan betapa pentingnya sebagai corong pondasi dasar sebagaimana dakwah yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah Saw selama di Makah. Akidah adalah mental sebuah karakter yang menjadi rujukan dan pondasi apakah bangsa ini dapat berbudaya, beretika secara manusiawi atau tidak. Kemajuan tanpa ditopang dengan nilai akidah akan memiliki dampak krisis psikology sosial yang akan karam dan kandas dalam mencapai hakikat dari makna kehidupan yang sebenarnya.

Syari’ah

Jika akidah merupakan pondasi awal maka pondasi berikutnya adalah Syari’ah. Syari’ah merupakan pengejawantahan intepretasi dari kandungan Wahyu (Qur’an dan Hadits Rasul Saw), akal dan kehidupan. Wahyu, akal dan kehidupan (filsafat bahasa, budaya, kreasi dan peradaban), bila ketiga ini dapat bersinergi dan ditopang dengan nilai-nilai akidah, maka akan terbentuklah tatanan sosio kultural dalam kehidupan, berbangsa dan bernegara menjadi satu kesatuan yang kokoh, makmur, gemah ripah dan brperadaban yang tinggi dan mulia.

Sifilisasi (Al Hadharah) tidak akan dapat terwujud jika nilai-nilai syari’ah tidak dapat dikembangkan sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Diantara intepretasi syari’ah selain daripada wahyu disana terdapat hakikat dari wujud fitrah yang lahir dari manusia seperti dari akal dan kehidupan (filsafat bahasa, budaya, kreasi dan peradaban) inilah yang melahirkan adanya perkembangan filsafat politik, ekonomi, budaya, sosial, globalisasi, industri, pendidikan, kedokteran, meliter, telekomunikasi, informasi, internet, manajemen birokrasi dan sebagainya.

Maka dari berkembangnya pola dan ekosistem tatanan kehidupan manusia diatas maka dari sini pula terwujudnya apa yang kita kenal dengan sifilisasi, peradaban (Al Hadharah; Tamaddun). Jika elemen-elemen diatas tidak dapat kita topang dengan tingkat kreasi dan adanya kesungguhan untuk memegang teguh akidah dan syari’at maka harapan itu akan menjadi kering, sia-sia dan hanya hayalan semata.

Dengan demikian disinilah peranan Al Washliyah sebagai ormas Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan dakwah merupakan gerbong yang akan menjawab hakikat dari akidah dan syari’ah di tengah-tengah masyarakat Indonesia khususnya dan dunia Internasional pada umumnya.

Kesimpulan

Semoga peranan ormas Islam Al Washliyah yang ditopang oleh Dewan Fatwa sebagai wadah lembaga para ulama-ulama Al Washliyah di seluruh Indonesia dapat memberikan sumbangan penuh dalam pembangunan bangsa dan membina kader umat dan generasi bangsa kedepan. Kuncinya adalah terjadinya hubungan yang positif antara pemerintah dan ormas Islam Al Washliyah untuk bersama-sama dalam menciptakan karakter, budaya dan peradaban bangsa Indonesia kedepan untuk menjadikan bangsa Indonesia bermartabat dan dapat andil dikancah internasional dalam perdamaian dan pembangunan bangsa-bangsa dunia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia di plenet bumi yang kita cintai ini. Semoga Al Washliyah selalu tetap jaya sebagaimana yang dicita-citakan untuk menjadi “ Al Washliyah sebagai gerbong akidah dan syari’ah”.

Penulis: Sekretaris Dewan Fatwa Al Washliyah & Direktur Lembaga Riset Timur Tengah (Politic-Culture-Economic-Religion).

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille