HAJI ISMAIL BANDA (1910-1951). Lahir pada tahun 1910. Selesai mendapatkan pelajaran pertama dalam Islam beliau masuk Sekolah Menengah Islamiyah di Medan, Sumatera Utara, selama lima tahun. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke ke Universitas Al Azhar Kairo di Mesir dengan bantuan orangtua dan Al Washliyah.
Di Universitas Al Azhar, Kairo, beliau memperlihatkan dirinya sebagai anak Indonesia yang cerdas dan kreatif. Sekitar tahun 1930, beliau berhasil meraih gelar Ahliyah pada universitas terkenal tersebut dan memperoleh ijazah ulama pada tahun 1937.
Ismail Banda bukan anak yang pasif, Dalam pergerakan organisasi Mahasiswa Islam di Mesir, beliau ikut aktif menjadi anggota dan bahkan pengurus dari perkumpulan Jam’iyah Chiriyah Jawiyah, Kemudian berubah menjadi Perkumpulan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom). Pada tahun 1945 beliau menjadi pendiri perkumpulan Kemerdekaan Indonesia Kairo.
Selama di luar negeri, beliau mejadi pembantu tetap dari ‘Pewarta Deli’ dan ‘Pemandangan’, yakni sebagai koresponden luar negeri untuk Timur Tengah, yakni antara tahun 1932 sampai tahun 1942.
Beliau pun sempat pula menjadi staf redaksi surat kabar ‘Icksan’ bagian luar negeri di Mesir yang terbit dalam bahasa Arab.
Di samping kesibukannya di dunia politik dan pergerakan, sosok Ismail Banda pun cukup pandai dalam ilmu pengetahuan. Di tahun 1940 beliau mendapat gelar BA (sarjana muda) filsafat pada Universitas Al Azhar Kairo dan pada tahun 1942 meraih gelar MA di bidang yang sama pula.
Kemudian beliau meraih ijazah dalam Bahasa Inggris dari Cambrige University pada tahun 1944.
Ismail Banda kembali ke tanah air pada 1947 dan terus ke Ibukota Negara yang kala itu di Yogyakarta. Pergaulannya di Yogyakarta amat menguntungkan umat Islam, Beliau bergerak aktif dalam Masyumi. Ia membuat beberapa kajian mengenai Islam umumnya, seperti bidang pendidikan dan pengajaran di Mesir di UII Yogyakarta.
Awalnya beliau bekerja di Kementerian Agama, tetapi hatinya lebih tertarik dengan urusan luar negeri. Sejak tahun 1948, beliau diangkat menjadi refrendaris pada Kementerian Luar Negeri di Yogyakarta.
Ismail Banda sempat kembali ke luar negeri dan menjadi penyiar pada beberapa radio untuk memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia yang pada waktu itu sangat sulit kedudukannya berhubung pengepungan Belanda.
Pada 1950 Ismail Banda dipindahkan ke Jakarta pada kementerian Luar Negeri dan menjabat Perwakilan pada Kedutaan Indonesia di Teheran, Iran.
Dengan surat Kementerian Luar Negeri tertanggal 30 November 1951, beliau diperintahkan bekerja pada perwakilan Indonesia di Kabul, Afganistan dan harus berangkat dengan pesawat udara pada akhir Desember 1951.
Sebelum ke Afganistan, Ismail Banda bermaksud hendak singgah dahulu di Mesir dan di Teheran, Iran. Tetapi dengan takdir Allah SWT, pesawat yang ditumpangi Ismail Banda dihantam badai topan dan mendapat kecelakaan di Teheran, Iran, yang menyebabkan seluruh penumpangnya meninggal dunia, termasuk di dalamnya adalah pendiri dan tokoh Al Washliyah Ismail Banda.
Jasad Beliau lalu di makamkan di tempat kejadian yaitu di Teheran.
Ismail Banda meninggalkan seorang anak perempuan bernama Nur Laila yang ketika itu berusia 22 tahun dan sempat menjadi pengajar di sekolah Al Washliyah di Medan, Sumatera Utara.
Kehilangan Ismail Banda tentu dirasakan warga Al Washliyah dan bangsa Indonesia. Karena tokoh, pendiri Al Washliyah telah pergi untuk selama-lamanya menghadap Ilahi Robbi. Beliau selain aktifis dan diplomat ulung, beliau juga memiliki leadership yang handal.
Al Washliyah di santero dunia kehilangan tokoh, pendiri Al Washliyah. Tidak heran, kabar kecelakaan pesawat yang ditumpangi Ismail Banda, menggetarkan hati dan sanubari umat Islam Indonesia, khususnya warga Al Washliyah di Sumatera Utara dan Jakarta, sekaligus menyelenggarakan salat ghaib.
Sumber: al-washliyah.com
Edeting:
Syamsir
Ketua Majelis Amal Sosial PB Al Washliyah