spot_img
BerandaOpiniPerjalanan Imam Syafi’i di Negeri Seribu Malam (Iraq)

Perjalanan Imam Syafi’i di Negeri Seribu Malam (Iraq)

1. Kondisi Fiqih Abi Hanifah di Negeri Iraq

Negeri Iraq sangat terkenal dengan fiqihnya Abu Hanifah. Dengan corak warna yang khas memberikan pola berbeda terhadap fiqih penduduk Madinah kala itu. Imam Abu hanifah sendiri sebagai pengusung mazhab Hanafiyyah, dibesarkan di negeri Irak dan menyebarkan mazhab fiqihnya disana. Dalam melandasi mazhabnya beliau berpegang dengan aqal dan qiyas sebagai metode dalam menghasilkan hukum-hukum fiqih yang bersumber dalam kitab dan Sunnah. Dan dalam membangun mazhabnya beliau paling banyak berpegang kepada aqal dan qiyas dibandingkan hadits-hadits sehingga membuat mazhabnya terpopuler dengan sebutan mazhab ahli ro’yi (golongan yang mefungsionalkan akal ketika hukum tidak tercantum dalam nash).

Dan keutamaan terbesar dalam penyebaran mazhab Abi Hanifah terpulang atas hasil usaha dan kerja keras pengikutnya yaitu: imam Abu Yusuf yang dinobatkan sebagai Khodi Al-qudho’ pada masa pemerintahan Kholifah Harun Ar-rasyid. Dengan statusnya tersebut, beliau mampu untuk berkhidmat dalam mazhab ini melalui kekuasaannya. Begitu juga pengikutnya yang lain yaitu Muhammad bin Al-hasan As-syaibani yang berkhidmat kepada mazhab imamnya dengan khidmat yang luhur karena telah mengkodifikasi masalah-masalah fiqih Abu Hanifah ke dalam sebuah buku sebagai pedoman dalam berfatwa pada kala itu hingga zaman sekarang.

Sebagaimana dua pengikut tersebut telah melakukan tanggung jawab penuh pada mazhab Abu Hanifah dengan menggunakan sebagaian pendapat-pendapat ahli hadits yang merupakan hasil dari hubungan secara langsung yang begitu sempurna antara keduanya dan antara ulama-ulama fiqih ahli hadits ketika keduanya pernah berangkat ke Madinah dan bertemu dengan imam Malik bin Anas dan yang lain. Dan keduanya mampu meraih manfaat yang sangat banyak dari mereka karena itulah batasan-batasan dalam menggunakan aqal dan qiyas menjadi sempit dari masa sebelumnya.
Sebagaimana pendapat-pendapat keduanya yang terdahulu mulai direvisi kembali kepada hadits yang shohih, oleh sebab itu sebagian fiqih abu hanifah telah sedikit berobah dari periode sebelumnya.

2. Kedatangan Imam Syafi’i ke Iraq

Imam Syaf’i berangkat ke negeri Iraq pada tahun 184 H dan itu sehabis keluarnya beliau dari negeri Yaman, karena dicurigai bahwasanya ia bersama ‘alawiyyin berusaha untuk keluar dari kekhalifahan ‘Abbasyiah setelah sebelumnya menduduki jabatan di pengadilan di Yaman tepatnya di wilayah Najran selama lima tahun (179-184 H). Setelah imam Syafi’i sampai ke negeri Baghdad yang waktu itu merupakan ibu kotanya kekhalifahan, maka khalifah harun Ar-rasyid memanggilnya dan memerintahkan pengawalnya untuk memenggal lehernya. Akan tetapi imam Syafi’i mengajaknya berdialog supaya bisa menjelaskan seputar masalah yang sedang terjadi sebenarnya atas diri beliau.

Kemudian setelah dialog tadi selesai dan khalifah pun mempertimbangkan alasan beliau dengan hujjah yang begitu akurat, maka khalifah mengurungkan niatnya untuk memenggal lehernya dan meringankan hukumannya dengan penjara. Dan akhirnnya beliau ditahan di Dar Al’ammah . Dan tidak ada seorangpun yang beliau kenal di sana kecuali imam Muhammad Al-hasan As-syaibani dan beliau sangat mengharapkan syafa’atnya disisi khalifah ketika itu. Akhirnya imam Muhammad Al-hasan membawa imam Syafi’i kerumahnya setelah melakukan dialog panjang dengan khalifah pada kesempatan yang lain dan imam Syafi’i pun bebas dari tahanan yang pada hakikatnya itu merupakan kelaliman orang-orang yang tidak suka dengan kebijakan dan keadilan beliau ketika menjadi khodi/hakim di Yaman.

Kemudian setelah imam Syafi’i lepas dari tuduhan yang tercela itu, berkat bantuan imam Muhammad Al-hasan beliau tidak langsung pulang ke negeri Yaman atau ke tempat tinggalnya di Madinah, tetapi beliau bermukim di Baghdad. Dan majelis-majelis ilmu yang ada di sana membuat imam Syafi’i terpesona karena Ibukota Baghdad kala itu merupakan sentralnya ilmu pengetahuan dan di dalamnya terdapat para ulama, ahli bahasa, perpustakaan-perpustakaan. Maka beliau merasa tamak untuk mencari ilmu dan mendekati para ulama yang ada di sana untuk mengambil fikih madrasah ahlu ra’yi melalui bimbingan dan ajaran imam Muhammad Al-hasan.

3. Kedekatan Imam Syafi’i Kepada Sang Guru

Kemudian setelah imam Syafi’i menetap di Baghdad, beliau mulai bergelut dengan ilmu yang tersebar di sana. Dan imam syaf’i mengarahkan hasratnya untuk mencari ilmu fikih ahli ra’yi dan ia merupakan fikih yang dibangun oleh imam Abu Hanifah di Baghdad. Dan tentunya fikih ini sangat berbeda dengan fikih yang dimiliki imam Syafi’i, karena kebanyakan fikih ahli ra’yi dilandasi oleh pemikiran dan Qiyas shohih yang tidak berkontradiksi dengan nash-nash Al-qur’an dan As-sunnah.

Adapun landasannya dengan sumber hadits-hadits nabi SAW maka sedikit sekali, karena imam Abu Hanifah terkenal dengan kehatian-hatiannya dalam menerima hadits shohih. Dan beliau tidak mengambil hadits Mursal sebagai dalil hukum syar’i. Walhasil, kebanyakan masalah-masalah fikih Abu Hanifah jelas terlihat berbeda dengan fikihnya imam Malik bin Anas di Madinah, karena imam Malik memiliki hadits-hadits yang tidak terjamah oleh imam Abu Hanifah sendiri. Oleh sebab itu, imam Syafi’i sangat berhasrat untuk membahas, meneliti, dan merenungi fikih ahli ra’yi, kemudian memperdebatkan masalah yang terdapat perbedaan di dalamnya.

Walaupun begitu, imam Syafi’i tidak langsung mengambil fikih tersebut dari pendirinya yaitu Abu Hanifah bin Nu’man, tetapi beliau mengambil dari murid-muridnya dan kebetulan imam Muhammad Al-hasan merupakan murid terdekatnya saat itu. Dan setelah imam Muhammad Al-hasan mengetahui bakat, potensi, serta kecerdasan yang dimiliki oleh imam Syafi’i beliau memberikan kepada imam Syafi’i kedudukan mulia yang mana beliau pada saat itu telah pantas menerimanya. Hingga imam Muhammad Al-hasan mengutamakan majlis imam Syafi’i dibandingkan majlis sultan, sebagaimana yang diceritakan bahwasanya ia pernah membantu imam Syafi’i atas perkaranya dan imam Syafi’i berkata disaat kedekatannya dengan gurunya: (aku menerima kehormatan dari Muhammad Al-hasan yang tidak memberatkannya, tetapi terdengar langsung darinya).

Dan imam Syafi’i menghadiri halaqohnya/majlis Muhammad Al-Hasan bukan sebagai penuntut ilmu, pelajar, narasumber, bukan pula sebagai murid pengikut mazhab, bahkan dia menganggap dirinya sebagai pengikut imam Malik dan ahli fikih mazhabnya. Oleh karena itu, ketika murid-murid Muhammad Al-hasan tinggal di majlis dia mengajak mereka berdiskusi dan berdebat.

Dan sebagian dari para ulama mensifati mengenai perdebatan dan jalan tengah yang diambil oleh imam Syafi’i bersama lawan debatnya, imam Abu Tsaur berkata: aku dahulu termasuk pengikutnya Muhammad Al-hasan maka manakala datang Syafi’i aku datang kepadanya seperti orang yang mencemooh dan aku menanyakan kepadanya suatu masalah secara bergilir dan ia tidak menjawab pertanyaanku dan langsung membahas permasalahan mengenai sholat. Maka setelah sebulan Syafi’i mengetahui bahwa aku terus mengikuti pelajarannya, ia berkata: “nah sekarang giliran permasalahanmu! Hanya saja dahulu aku terhalang untuk menjawab pertanyaanmu karena engkau bertanya hanya sekedar bermain-main.”

Imam Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Abu Tsaur, ia berkata: manakala Syafi’i datang ke Irak, Al-hasan bin Ali Al-karabisi mendatangiku sedangkan ia berbeda pendapat dengan ahli ra’yi, maka ia berkata kepadaku: telah datang seorang ahli ra’yi untuk belajar ilmu fikih, mari kita datangi dia untuk berbangga diri dihadapannya, lalu kamipun mendatanginya dan pada saat itu Husain menanyakan kepadanya tentang suatu masalah dan Syafi’i hanya menjawab: Allah SWT berfirman begini dan begitu dan Rasulullah bersabda begini dan begitu- maksudnya bahwa setiap permasalahan fikih yang dibangun oleh golongan ahlu hadits berdasarkan Al-kitab dan As-sunnah- hingga gelap pun menyelimuti rumah yang kami tempati dan ia pun meninggalkan kami dan kamipun mengikutinya.

Imam Az-za’farani berkata: kami menghadiri majlisnya Al-basyar Al-muraisi dan kami tidak sanggup untuk mendebatnya, lalu Syafi’i mendatangi kami dan memberikan kami kitab As-syahid wal Al-yamin dan akupun mempelajarinya selama dua malam kemudian aku kembali mendatangi majlis Al-basyar Al-muraisi dan akupun mendebatnya hingga ia tidak membalasnya dan ia pun berkata: ini bukan dari kantongmu/kepalamu ini adalah kalamnya seorang laki-laki yang aku pernah lihat dahulu di Makkah, bersamanya setengah akal dari penduduk bumi.

Dan perdebatan yang berlangsung antara imam Syafi’i dengan pengikut Abu Hanifah tidak lain hanyalah sebagai pembelaan atas fikih sekaligus metode pencetusan hukum penduduk masyarakat Hijaz, tetapi dibalik itu ia melindungi dirinya agar tidak sampai terjadi perdebatan antara ia dengan Muhammad Al-hasan sebagai penghormatan kepadanya dan rasa ta’dzimnya yang luar biasa atas kedudukan gurunya tersebut. Hingga suatu hari sampailah berita kepada Muhammad Al-hasan tentang perdebatannya imam Syafi’i dengan pengikutnya imam Abu Hanifah, maka ia pun meminta dirinya agar mau mendebatnya dan beliau menolaknya, akan tetapi Al-hasan terus mendesaknya hingga akhirnya imam Syaf’i mau menerima permintaan gurunya tadi. Imam Ar-razi berkata: (telah diriwayatkan bahwasanya suatu hari Muhammad Al-hasan berkata kepada imam Syafi’i: Telah sampai berita kepadaku bahwa sanya engkau berbeda pendapat dengan kami tentang masalah Ghosob, imam Syaf’i berkata: Semoga Allah mendatangkan kebaikannya kepadamu itu hanyalah sesuatu yang aku katakan dalam perdebatan, ia berkata: Berdebatlah denganku! Aku berkata: Aku menundamu untuk berdebat, ia berkata: Ini harus, dan ia melanjutkannya lagi: Apa yang engkau katakan tentang permasalahan ini dan itu… dan seterusnya)

Dan dengan khazanah ilmiah baru ini yang ia ambil langsung dari gurunya Muhammad Al-hasan, maka terhimpunlah dalam dirinya fikih ahli hijaz dan fikih ahli irak maksudnya fikih ahli ra’yi dan ahli hadits. Ibnu Hajar berkata: (pucuk kepemimpinan madrasah ahlu hadits berakhir di tangan Imam Malik, dan imam Syafi’I pun pergi ke sana dan belajar dengannya serta senantiasa menemani imam Malik di majlisnya maupun dirumahnya. Sedangkan pucuk kepemimpinan madrasah ahlu ra’yi berakhir ditangan Abu Hanifah, dan imam Syafi’ipun mengambilnya dari imam Muhammad bin Al-hasan maka terhimpunlah dalam dirinya ilmu ahli ra’yi dan ilmu ahli hadits. Dan beliaupun menjadi leluasa dengan hal itu, hingga bisa menerangkan ushul dan kaedah-kaedah berdasarkan ijtihadnya. Dan menolong orang yang sependapat dengannya maupun yang tidak sependapat dengannya. Dan perkaranya menjadi terkenal dan panggilannya pun kian menjulang tinggi, hingga terangkat kredebelitasnya sampai ia menjadi saat sekarang ini.

Dan di antara perkataan gurunya kepadanya, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari jalur Al-khudor bin Dawud bahwa aku mendengar Al-hasan bin Muhammad As-sobah Az-za’farani berkata: Muhammad bin Hasan pernah berkata: (jika suatu hari pengikut hadits berkata maka itu lewat lidahnya Syafi’i ). Dan berkata Abu Nuaim-dengan sanadnya- kepada Ali Al-karabisi bahwa dia mengatakan: Aku mendengar Syafi’i berkata: Aku pernah mendengar Muhammad Al-hasan berkata kepada sahabatnya : jika Syafi’i mengikut kalian, maka tidak ada kesulitan buat kalian terhadap orang-orang Hijaz .

4. Perdebatan antara Imam Syafi’i dengan Imam Muhammad bin Hasan

Imam Fakhrurozi meriwayatkan: Pada suatu hari Muhammad bin hasan bertemu dengan imam Syafi’i lalu berkata:

Muhammad bin Hasan: Kabarnya kamu berbeda pendapat denganku dalam masalah ghasab/rampasan?

Syafi’i: Mudah-mudahan Allah memberikan kebaikannya kepadamu, itu hanyalah suatu pendapat yang aku kemukakan dalam Munazhoroh (diskusi).

Muhammad bin Hasan: Berdiskusilah denganku! Apa pendapatmu tentang seseorang yang merampas sebidang tanah, lalu ia dirikan bangunan diatasnya dengan biaya seribu dinar, kemudian pemilik tanah itu datang dan mengaku bahwa tanah itu miliknya dengan dikuatkan oleh dua orang saksi?

Syafi’i: Aku bilang kepada pemilik tanah: apakah setuju sekiranya kamu menerima harga tanahmu? Jika tidak, maka bangunan itu aku bongkar dan tanah itu kuberikan kepada pemiliknya.

Muhammad bin Hasan: Apa pendapatmu terhadap orang yang merampas kayu papan untuk menambal perahunya, lalu pada saat perahu di tengah lautan pemilik kayu papan itu datang membawa dua orang saksi adil. Apakah kamu copot kayu papan itu dari perahu?

Syafi’i: Tidak.

Muhammad bin Hasan: Allahu Akbar , sekarang kamu tinggalkan pendapatmu semula.

Muhammad bin Hasan: Apa pendapatmu terhadap seseorang yang merampas seutas benang sutra untuk menjahit perutnya yang robek, kemudia pemilik benang datang membawa dua orang saksi yang adil. Apakah kamu akan mencabut benang itu dari perutnya?

Syafi’i: Tidak.

Teman-teman Muhammad bin Hasan: Kamu telah meninggalkan pendapatmu.
Syafi’i: Jangan tergesa-gesa, sekarang ganti aku yang bertanya. Apa pendapatmu andai kayu papan itu kepunyaan pemilik perahu itu sendiri lalu ia mencopot sendiri dari perahunya yang sedang ada di tengah lautan, bolehkah hal tersebut ataukah haram?

Muhammad bin Hasan: Haram.

Syafi’i: Kalau pemilik tanah datang lalu membongkar sendiri bangunan yang didirikan di atas oleh yang merampas dari atas tanahnya, haramkah itu ataukah boleh?

Muhammad bin Hasan: Boleh

Syafi’i: Bagaimana kamu mengqiyaskan barang yang mubah atas barang yang haram?

Muhammad bin Hasan: lalu apa katamu pada pemilik perahu?

Syafi’i: Kuperintahkan agar dia menarik perahunya ke pantai terdekat, lalu kusuruh “copotlah kayu papan itu dan berikanlah kepada pemiliknya!”

Muhammad bin Hasan: Nabi SAW bersabda : “Tidak ada mudharat dan tidak boleh memudharatkan”.

Syafi’i: siapakah yang memudharatkan? Itukan resikonya dia sendiri. Coba sekarang bagaimana pendapatmu terhadap seorang bangsawan yang merampas jariyah (budak perempuan) milik seorang suku Zanji yang sangat rendah, kemudian jariyah itu mempunyai sepuluh orang anak laki-laki yang semuanya menjadi orang besar, anak-anak itu kini ada yang menjadi hakim, muballigh dan sebagainya. Kemudian pemilik jariyah itu datang dengan membawa dua orang saksi yang adil dan mengatakan bahwa jariyah yang merupakan ibu dari anak sepuluh adalah miliknya. Apa yang akan kamu perbuat?

Muhammad bin Hasan: Saya putuskan bahwa sepuluh orang anak itu menjadi budak pemilik anak jariyah itu.

Syafi’i: Yang mana di antara dua kasus ini yang lebih besar mudharatnya? Kamu bongkar bangunan itu dan tanahnya kamu berikan kepada pemiliknya, ataukah kamu menetapkan hukum menjadi budaknya sepuluh orang anak itu? Maka putuslah hujjah Muhammad bin Hasan.[]

Penulis : Muhammad Hanafiah Mahasiswa Al-ahgaff, tingkat 4, Tareem-Hadhramaut dan tamatan al Qismul Ali Al Washliyah, Medan.

Fb: hanafi_alfathi@yahoo.com

About Author

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments

KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
KakekHijrah「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」 pada Nonton Film Porno Tertolak Sholat dan Do’anya Selama 40 Hari
M. Najib Wafirur Rizqi pada Kemenag Terbitkan Al-Quran Braille